makalah komunikasi lintas budaya
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peristiwa-peristiwa
perubahan kebudayaan selalu melanda semua bangsa dan negara di dunia, walaupun luas
permasalahan dan tingkat permasalahan itu berbeda-beda
Secara umum ada dua kekuatan yang menyebabkan
timbulnya perubahan
sosial, hal yang pertama adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri
(internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan
rekayasa setempat.Hal kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external
factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara
langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan
lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan
kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan merekaSeberapa cepat
atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan faktor apapun
penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan
kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.
B.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
2.3 Hubungan
antara Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan
Kingsley
Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan.[4] Perubahan
dalam kebudayaan mencangkup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk
serta aturan-aturan organisasi sosial. Sebagai contoh dikemukakannya perubahan
pada logat bahasa Aria setelah terpisah dari induknya. Akan tetapi, perubahan
tersebut tidak memengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan-perubahan
tersebut lebih merupakan perubahan kebudayaan ketimbang perubahan sosial.
Perubahan
sosial dan perubahan budaya sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, acap
kali tidak mudah untuk menetukan garis pemisah antara perubahan sosial dan
kebudayaan. Hal itu disebabkan tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai
kebudayaan, dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma
dalam suatu masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di dalam
kenyataan hidup antara perubahan sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi untuk
ditegaskan. Biasanya antara kedua gejala itu dapat ditemukan hubungan timbale
balik sebagai sebab dan akibat.
2.4 Beberapa
Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Perubahan
sosial dan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu sebagai
berikut.
1. Perubahan
Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan-perubahan
yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling
mengikuti dengan lambat dinamakan dengan evolusi. Pada evolusi perubahan
terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut
terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru, yang timbul
sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut
tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah
masyarakat yang bersangkutan.[5]
Sementara
itu, perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat
dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dalam kehidupan masyarakat
(yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan “revolusi”. Misalnya
revolusi industri di Inggris, dimana perubahan-perubahan terjadi dari tahap
produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi mengggunakan mesin.
2. Perubahan
Kecil dan Perubahan Besar
Agak
sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas karena
batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa
perubahan-perubahan kecil merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada
unsure-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti
bagi masyarakat.[6]
Kepadatan
penduduk di pulai Jawa, misalnya, telah melahirkan berbagai perubahan dengan
pengaruh yang besar. Areal tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit;
pengangguran tersamar kian tampak di desa-desa. Mereka tidak mempunyai tanah
menjadi buruh tani dan banyak wanita serta anak-anak yang menjadi “buruh”
potong padi pada waktu panen. Sejalan dengan itu, terjadi pula proses
individualisasi milik tanah. Hak-hak ulayat desa semakin luntur karena areal
tanah tidak seimbang dengan kepadatan penduduk.
Timbullah
bermacam-macam lembaga hubungan kerja, lembaga gadai tanah, lembaga bagi hasil
dan seterusnya, yang pada pokoknya bertujuan untuk mengambil manfaat yang
sebesar mungkin dari sebidang tanah yang tidak begitu luas. Warga masyarakat hanya
hidup sedikit di atas standar minimal. Keadaan atas sistem sosial yang demikian
oleh Clifford Geertz disebut shared poverty.[7]
2.5 Perubahan
yang Dikehendaki (Intended-Change) atau Perubahan yang Direncanakan
(Planned-Change) dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki (Unintended-Change) atau
Perubahan yang Tidak Direncanakan (Unplanned-Change)
Perubahan
yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau
yang lebih direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan
perubahan di dalam masyarakat.[8] Suatu
perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah
pengendalian serta pengawasan agent of changetersebut.[9] Cara-cara
memengaruhi masyarakat dengan sistem yang terartur dan direncanakan terlebih
dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering
pula dinamakan perencanaan sosial (social planning).[10]
Perubahan
sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan
perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung d luar
jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat
sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Mungkin suatu perubahan yang tidak
dikehendaki sangat diharapkan dan diterima oleh masyarakat. Bahkan
para agent of change yang merencanakan perubahan-perubahan yang
dikehendaki telah diperhitungkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak
terduga (dikehendaki) di bidang-bidang lain. Pada umumnya sulit untuk
mengadakan ramalan tentang terjadinya perubahan-perubahan yang tidak
dikehendaki. Karena proses tersebut biasanya tidak hanya merupakan akibat dari
suatu gejala sosial saja, tetapi dari berbagai gejala sosial sekaligus.
2.6 Faktor-faktor
yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Pada
umumnya dapat dikatakan bahwa mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang
terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya di luar.[11] Sebab-sebab
yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.
1. Bertambah
atau Berkurangnya Penduduk
Berkurangnya
penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari
daerah ke daerah lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk menimbukan
kekosongan, misalnya dalam bidang pembagian kerja dan stratifiksi sosial, yang
memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah
berlangsung berates-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal itu sejajar
dengan bertambah banyaknya manusia penduduk bumi ini. Pada
masyarakat-masyarakat yang mata pencaharian utamanya berburu, perpindahan
sering kali dilakukan, yang tergantung dari persediaan hewan-hewan buruannya.
Apabila hewan-hewan tersebut habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat
lainnya seperti manusia purba.
2. Penemuan-penemuan
Baru
Suatu
proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu
yang tidak teralu lama disebut dengan inovasi atau innovation.[12] Penemuan-penemuan
baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam
pengertian-pengertiandiscovery dan invention. Discovery adalah
penemuan unsur kebudayan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang berupa
gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para
individu.
Misalnya
penemuan mobil, kereta api, dan jalan kereta api, telepon, dan sebagainya
menyebabkan tumbuhnya lebih banyak pusat kehidupan di daerah pinggiran kota
yang dinamakan suburb.
Proses
penerimaan perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya
suatu unsur kebudayaan baru diantaranya:
a. Terbiasanya
masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan
orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.
b. Jika
pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan
oleh nilai agama, dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang
ada, maka penerimaan unsur baru itu mengalami kelambatan dan harus disensor
dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan ajaran agama yang berlaku.
c. Corak
struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan
baru. Misalnya, sistem otoriter akan sukar menerima unsur kebudayaan baru.
d. Suatu
unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang
baru tersebut.
e. Apabila
unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan
mudah dibuktikan kegunaannnya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
3. Pertentangan
(Conflict) Masyarakat
Umumnya
masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan
didasarkan pada kepentingn masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui,
tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan atara kepentingan
individu dengan kepentingan kelompoknya, yang dalam hal-hal tertentu dapat
menimbulkan perubahan-perubahan.
Contoh:
Perubahan yang disebabkan Konflik
Pada
masyarakat Batak dengan sistem kekeluargaan patrilineal murni,[13] terdapat
adat istiadat bahwa apabila suami meninggal, keturunannya berada di bawah
kekuasaan keluarga almarhum. Dengan terjadinya proses individualisasi terutama
pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi penyimpangan.
Anak-anak tetap tinggal pada ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan
keluarga almarhum suaminya telah putus karena meninggalnya suami. Keadaan
tersebut membawa perubahan besar pada peranan keluarga batih dan juga pada
kedudukan wanita, yang selama ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila
dibandingkan dengan laki-laki.[14]
4. Terjadinya
Pemberontakan atau Revolusi
Revolusi
yang meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut terjadinya
perubahan-perubahan besar pada Negara Rusia yang mula-mula mempunyai bentuk
kerajaan absolute berubah menjadi dictator proletariat yang dilandaskan pada
doktrin Marxis. Segenap lembaga kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai
keluarga batih, mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Suatu
perubahan sosial dan kebudayan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang
berasal dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.
a. Sebab-sebab
yang Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada di Sekitar Manusia
b. Peperangan
c. Pengaruh
Kebudayaan Masyarakat Lain
2.7 Proses-proses
Perubahan Sosial dan Kebudayaan
1. Penyesuaian
Masyarakat Terhadap Perubahan Antarbudaya
Masyarakat
dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat
dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan
masyarakat yang lainnya. Terjadinya perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
beberapa hal:
a. Sebab-sebab
yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan
jumlah dan komposisi penduduk.
b. Sebab-sebab
perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang
hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
Perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi
perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain sistem
status, hubungan-hubungan di dalam keluarga sistem politik, dan kekuasaan,
serta persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan
ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para
warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain
aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan,
juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian), dan bahasa. Walaupun
perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua
perubahan itu tak akan mencapai suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan
keduanya.
Keserasian
atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium) merupakan keadaan
yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Dengan keserasian masyarakat dimaksudkan
sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok
benar-benar berfungsi dan saling mengisi.[15] Dalam
keadaan demikian, individu secara spikologis merasakan akan adanya ketentraman,
karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai.
Ada
kalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan secara bersamaan
mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh juga pada
warga masyarakat. Apabila ketidakserasian dapat dipulihkan kembali setelah
terjadi suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjustment). Bila
sebaliknya terjadi maka dinamakan ketidakpenyusuaian
social (maladjustment) yang mungkin mengakibatkan terjadinya anomie.
Suatu
perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan
dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat tersebut.[16]
Yang
pertama menunjuk pada keadaan, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan
lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial
dan kebudayaan. Sedangkan yang kedua menunjuk pada usaha-usaha individu untuk
menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telh diubah atau
diganti agar terhindar dari disorganisasi psikologis.
2.8
Saluran-saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Saluran-saluran
perubahan social dan kebudayaan (avenue or channel of change)merupakan
saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya
saluran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam bidang
pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi, dan seterusnya. Lembaga
kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural
focus masyarakat pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari
masyarakat cenderung untuk menjadi saluran utama perubahan social dan
kebudayaan.
2.9 Peristiwa-peristiwa
Perubahan Kebudayaan
1. Ketidakserasian
Perubahan-perubahan dan Ketertinggalan Budaya (Cultural lag)[17]
Cultural
lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan
masyarakat. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu
perubahan-perubahan pada unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami
kelainan yang seimbang. Ada unsur-unsur yang dengan cepat berubah. Akan tetapi
ada pula unsur-unsur yang sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan
kebendaan lebih berubah daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya,
suatu suatu perubahan dalam cara bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap
tari-tarian tradisional. Akan tetapi sistem pendidikan anak-anak mempunyai
hubungan yang erat dengan dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri.
Apabila dalam hal ini terjadi ketidakserasian, maka kemungkinan akan terjadi
kegoyahan dalam hubungan antara unsur-unsur tersebut diatas, sehingga
keserasian masyarakat terganggu.
Suatu
teori yang terkenal didalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat
adalah teori ketertinggalan budaya (cultural lag) dari William F. Ogburn.[18]:
Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu
sama cepatnya dalam keseluruhannya seperti diuraikan sebelumnya, akan tetapi
ada bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat, dinamakan cultural
lag (artinya ketertinggalan kebudayaan). Juga suatu
ketertinggalan (lag) terjadi apabila laju perubahan dari dua unsur
masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang mempunyai korelasi, tidak
sebanding, sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya. Perubahan
itu bisa berupa discovery (penemuan), invention(ciptaan baru),
dan diffusion (difusi, peleburan dari ciptaan lama dengan baru).
Suatu
contoh dapat dikemukakan mengenai tenaga listrik antara tahun 1963-1966 di
Jakarta, dibandingkan dengan kebutuhan penduduk yang semakin meningkat
jumlahnya. Keadaan listrik di kota Jakarta sangat dibawah norma-norma
persyaratan listrik bagi kota-kota besar, dan dari hal itu dapat dapat pula
dinilai norma-norma kesejahteraan masyarakat Jakarta ini. Listrik di Jakarta
hanya lebih melayani 100.000 langganan atau 500.000 penduduk, yang berarti
lebih kurang hanya 13% dari seluruh penduduk Jakarta, atau satu dianta delapan
keluarga. Keadaan perlistrikan yang sebenarnya di Jakarta adalah sebagai
berikut:[19]
Tahun jumlah jumlah Beban Beban Jatah
penduduk langganan terpasang
(Kw) puncak yg
dicapai watt
1963 3.200.000 90.000 74.000 45.000 23
1966 3.800.000 100.000 82.000 60.000 22
Adanya
cultural lag disini adalah karena tidak sesuainya penyediaan dengan pemakaian
tenaga listrik dan juga karena terlalu cepatnya perkembangan penduduk Jakarta,
apabila dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan penyediaan listrik. Keadaan
tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakwajaran, misalnya pencurian listrik
yang menyebabkan para knsumen yang benar-benar berlangganan dirugikan.
Pengertian
ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti,[20] petama
sebagai jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru.
Ketertinggalan
yang mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dengan perkembangan teknologi
yang sangat pesat. Hal ini dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang
sedang berkembang seperti indonesia ini.
Suatu
contoh nyata adalah penggunaan Komputer yang merupakan salah satu hasil
perkembangan teknologi di negara-negara maju. Penggunaan alat tersebut harus disertai
oleh peralatan-peralatan khusus seperti untuk memperbaikinya apabila rusak.
Aliran listrik harus mempunya ketegangan tertentu, konstan dan seterusnya. Ini
belum semuanya tersedia, misalnya aliran listrik yang konstan. Hal itu dapat
memacetkan computer atau kalau rusak untuk memperbaikinya belum tentu tersedia
alat dan ahli yang cukup.
Tidak
mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian, paling tidak alam pikiran
manusia harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran tradisional
kea lam pikiran yang modern. Alam pikiran modern ditandai oleh beberapa hal,
misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi
perubahan dan pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukanlah terletak pada
keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa yang terbuka.
Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja yang
langsung, akan tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu. Yaitu
berpikir dengan luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi menentukan; semakin
terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luar daya pikirnya. Dia harus
menyadari bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap lain yang
mengelilingi dirinya. Kondisi lain yang juga harus diperhatikan adalah bahwa
alam pikiran modern lebih berorintasi pada keadaan sekarang serta
keadaan-keadaan mendatang daripada terhadap keadan-keadaan yang telah lau; dan
sehubungan dengan itu dia harus mengadakan perencanaan (planning)untuk
hari kedepannya.
Kiranya
seseorang dengan alam pikiran modern yakin bahwa manusia dapat belajar untuk
memanfaatkan dan menguasai alam sekelilingnya, daripada bersikap pasrah atau
pasif. Seorang juga yakin bahwa keadaan-keadaan dapat diperhitungkan, artinya
bahwa orang-orang lain serta lembaga-lembaga lain dapat diandalkan dalam
memenuhi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya. Dia tidak setuju pada
pendapat bahwa segala sesuatu dapat ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan
sifat-sifat yang khusus dari orang-orang tertentu. Sehubungan dengan itu timbul
kesadaran akan harga diri orang-orang lain, sehingga dia menaruh keseganan
terhadap mereka. Kemudian, dia lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan
teknologi walaupun dengan cara-cara sederhana sekalipun. Hal itu menimbulkan
keyakinan kepadanya bahwa penghargaan sebagai balas jasa, diberikan kepada
mereka yang betul-betul telah berjasa dan tidak atas dasar kekayaan atau
kekuasaan yang dimilikinya. Itu semuanya terutama dapat dicapai dengan
pendidikan supaya orang dapat berpikir secara ilmiah. Cara berpikir secara
ilmiah herus melembaga dalam diri manusia, terutama pada masyarakat-masyarakat
yang sedang berkembang, agar terhindar dari terjadinya ketertinggalan budaya.[21]
2. Cultural
Shock (guncangan kebudayaan)
Istilah
ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa
yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba
dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri,
semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat
kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan
lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.
Misalnya,
adalah peristiwa kebudayaan dimana masyarakat melakukan perpindahan
dari Negara satu ke Negara lain. Tetapi terjadi perbedaan budaya yang jauh
antar Negara tadi dan membuat masyarakat bingung untuk berdaptasi. Keadaan ini lebih
dipengaruhi dengan perbedaan mendapat beasiswa di Perancis. Tetapi di Perancis,
mereka lebih suka menggunakan Bahasa Ibu mereka. Keadaan ini jelas akan membuat
keadaan orang Indonesia mengalami Cultural Shock dimana dia akan kebigungan
dengan bahasa yang tidak biasa dia dengar selama ini dan seperti yang kita
ketahui, bahwa Bahasa Perancis jika tidak terbiasa mendengarnya pasti akan
sulit untuk memahaminya.
Ada
empat tahap yang membentuk siklus culture shock:
a. Tahap
inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru
yang menarik.
b. Tahap
krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi
korbanculture shock
c. Tahap
kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
d. Tahap
penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang
dilihat dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu, rasa cemas dalam dirinya
sudah berlalu.
Penyesuaian
diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor intern
dan factor ekstern. Faktor intern ialah faktor watak (traits) dan kecakapan
(skills).[22]Watak
adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang
dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, “orang
macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang
bergaul dan seterusnya. Orang yang senang bergaul biasanya akan lebih mudah
menyesuaikan diri.
Kecakapan
atau skills menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai
lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata
karma, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi politik, dan sebagainya.
Selain
kedua faktor ini, juga sikap (attitude) seseorang berpengaruh terhadap
penyesuaian diri antarbudaya. Yang dimaksud dengan sikap di sini adalah
kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui pengalaman yang memberikan
pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang menanggapi segala macam
objek atau situasi yang dihadapinya.[23] Contoh-contoh
sikap: terus terang, berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis,
skeptis, ekstrem, moderatm toleran, tepa sliro, dan sebagainya.
Orang-orang yang bersikap terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan
lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.
Faktor
ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah:
1. Besar-kecilnya
perbedaan antara kebudayaan tempt asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang
dimasukinya.
2. Pekerjaan
yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir
dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
3. Suasana
lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah
seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan
yang tertutup.
C.
Cultural survival
Istilah
ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung
pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak
dahulu sampai sekarang.Cultural survival adalah suatu konsep yang lain,
dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang
telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku
semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian
lag dapat dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1. Suatu
jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya penemuan baru
tadi.
2. Adanya
perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran
modern.
Terjadinya cultural
lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan
serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara
bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan,
malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa
mengalamicultural lag. Misalnya sebagai berikut, seorang pria menggunakan
mantel yang memiliki ekor dan dulunya itu digunakan untuk berkuda, tetapi masih
saja budaya itu digunakan untuk membuat mantel dalam pernikahan. Inilah yang
dimaksud dengan cultural survival.
D.
Pertentangan kebudayaan (cultural conflict)
Pertentangan
kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi
akibat konflik langsung antarkebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik
kebudayaan adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai
masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara
anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang
lain. Dapat dicontohkan dengan adanya pro dan kontra atas terjadinya
perbudakan di Amerika. Hasil dari pro dan kontra tadi adalah perang saudara di
amerika.
3.0
Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional
Hampir
sepanjang sejarah, kontak antara Timur dengan Barat lebih berwujud konflik,
disharmoni, persaingan, atau perang dibanding konsensus nilai atau saling
mengerti. Meskipun teknologi dan komunikasi sudah demikian modern dan
canggihnya, tetap saja ketidaktahuan di antara Barat dan Timur menyelimuti
pengetahuan kebudayaan dan nilai spiritual yang dimiliki. Demikian pula adanya
orientalisme (ilmu ketimuran atau ilmu tentang dunia Timur) tidak membantu
terjadinya harmoni antara Barat dan Timur. Justru sebaliknya, banyak orientalis
(ahli Barat yang mempelajari Timur) tidak memberikan gambaran objektif, bahkan
banyak penelitian orientalis yang digunakan dalam rangka memperkuat penetrasi
politik Barat. Khusus umat Islam Indonesia dengan orientalis Snouck Hurgronje
merupakan contoh yang jelas tentang adanya disharmoni di antara Barat dan
Timur.
Terjadinya
disharmoni di antara Barat dan Timur disebabkan oleh pikiran Barat tentang
Timur yang penuh dengan bayangan negatif yang stereotipe dan prasangka. Akibat
demikian, alam pikiran barat dengan Timur tidak pernah bertemu. Dalam pikiran
Timur, Barat digambarkan sebagai materialisme kapitalisme, rasionalisme,
dinamisme, saintisme, positivisme, sekularisme, dan lain-lain. Sebaliknya
pikiran Barat membayangkan Timur sebagai kemiskinan, kobodohan, statis,
fatalis, kontemplasi, dan lain-lain. Tebtu saja kalau bayangan pikiran Barat
dan Timur digambarkan demikian, maka Barat dan Timur terdapat sikap yang
berlawanan, yang pada gilirannya akan terwujud konflik, disharmoni, persaingan,
atau perang.
Untuk
membuktikan apakah betul bahwa antara Barat dan Timur terjadi sikap yang
berlawanan, kita perlu menelusuri masing-masing watak dan pemikiran tersebut.
1. Nilai
Budaya Barat
Barat
dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga
hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Firasat Barat
telah dipusatkan kepada wujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan
mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat,
dunia empiris memiliki arti (Harold, Merylin, dan Richard, 1979). Pada zaman
sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia Barat unggul,
sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan
mundur.
Barat
dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan
hidup sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan
makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional
dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistemik ide-ide abstrak tanpa
hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas dasar
hidup dan pikiran orang semakin berkurang karena Barat mengunggulkan cara
berpikir analitis rasional, yakni filsafat positivism, maka mereka menganggap
pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai suatu yang
subjektif dan tidak bermutu. Apa yang tidak rasional diserahkan pada daya
pembayangan para sastrawan, sehingga karya sastra bukan saja pantulan hidup,
melainkan juga merupakan norma kehidupan (Theo Huijbers, 1986). Kalau begitu,
apa yang menjadi dasar nilai-nilai di Barat? Menutut To Thi Anh (1975) ada tiga
nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat, yakni martabat manusia,
kebebasan, dan teknologi.
Dalam
tradisi humanistik ditekankan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya
tentang kebenaran dan kebaikan. Akibatnya gerakan sekularisme pemikiran semakin
berkembang dan diperluas ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama yang dikalangan
Timur merupakan sumber nilai, di Barat dicampakan. Barat menganggap kebajikan
agama tidak ada bedanya dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin membangun
agama baru yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebab agama (di
Barat) mengalami kemunduran melalui tekanan mentalitas ilmiah. Di Barat
kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha atau perhatian terhadap benda,
kenikmatan dan keselarasan di dunia. Usha-usaha ini dengan sendirinya dapat
menimbulkan kondisi kehidupan yang penuh dengan persaingan masyarakat dalam
mencapai kehidupan, terkadang dapat menimbulkan kekacauan.
Tentang
kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur menganggap
bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal
ini mulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri
dan mengembangkan bakatnya sendiri. Spontanitas lebih dihargai dan individu
bebas dari tekanan dan campur tangan orang lain. Akhirnya kebebasan itu
diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, kebudayan, dan
ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa percaya diri dan kemampuan
serta menghilangkan perbedaan status sosial.
Teknologi
Barat membikin kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit negara Timur yang
menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum ini. Filsafat
berdiri di atas kaki sendiri tidak tahan terhadap godaan dan tantangan
teknologi Barat sehingga tunduk kepada teknologi. Hasil teknologi Barat
melebihi kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan manusia karena
terlalu cepat sampai ke depan (Alfin Topler menyebutnya future shock).
Cepatnya teknologi di Barat sulit diikuti imajinasi sehingga banyak benda yang
cepat dimusiumkan. Di Barat tidak sedikit manusia yang dikuasai oleh perubahan
teknologi sehingga menimbulkan dampak kehilangan arah, hilang kepercayaan
terhadap diri sendiri, terhadap nilai-nilai dan iman. Timbul kecemasan, tekanan
hidup, acuh tak acuh, dan terganggu kesehatan mental. Akibatnya, teknologi yang
tadinya meningkatkan nilai eksistenssi manusia, secara serempak juga
merendahkan martabat manusia. Yang menjadi ukuran dalam budaya teknologi
sekarang adalah teknologi kultur orang, kuantitas (produksi yang melimpah),
kultur buatan (artificial), control menyeluruh (kemahakuasaan sistem).
Di
Barat lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains
dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkembang dalam pengetahuan
deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya
kepada realitas dan nilai waktu menyebabkan perkembangan yang pesat dalam
filsafat profesi pengonsepan evolusi kreatif serta kemajuan. Dengan demikian,
waktu mempunyai peran dalam keselamatan manusia. Manusia dengan alam menurut
konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal
ini tertulis dalam kat-kata: menaklukan luar Angkasa, menaklukan alam dan hutan
rimba. Kata-kata tersebut dibuktikan oleh problema yang dihadapi Barat seperti
polusi udara dan air. Pendek kata, Barat memiliki persepsi yang berbeda
terhadap pengetahuan, keinginan, watak, proses waktu, dan sikap terhadap alam.
2. Nilai
Budaya Tmur
Nilai
budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia
Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi
seluruh eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang
usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab
manusia Timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Inti kepribadian
manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan
hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan.
Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
Nilai
budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur
bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian,
berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia.
Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang
dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan.
Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, dan tidak
mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik
menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi
alam, mengubah masyarakat dan mencari kesenangan bagi dirinya. Aka tetapi, yang
baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di
luarnya.
Di
Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberikan kehidupan, member
makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh
hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan
dunia, bagi dunia Timur cukup kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam
membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh
ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui melalui meditasi,
tirakat (ascetic), dan mistik.
Dalam
hal menegakan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide
abstrak atau simbolik pun dapat terwujud konkret dalam praktek kehidupannya.
Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi
mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur
memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran yang konkret, simbolik, dan
kebijaksanaan.
Sikap
orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri
dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmonisasi dengan alam
karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Kalu alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang
harmonis terkadang muncul ekspresi konkret dalam bentuk hubungan mistik manusia
dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari alam, seperti
“nrimo” kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari
pengalaman, menyatukan diri,. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu membuat
sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, mengdindar untuk membangun dunia,
hisup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur
menginginkan kakayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenag tentram, menyatu diri,
fatalisme, pasivitas, dan menarik diri.
3. Reaksi
dan Sikap Budaya Timur
Pribadi
dalam dunia Timur keadaan partisipasi yang tidak individual. Martabat pribadi
dibentuk dalam proses kompromi sosial, tidak dibiarkan seseorang “mengurus
dirinya sendiri”. Pembentukan pribadi pola Barat adalah sebaliknya dari pola
Timur, yaitu ketidakbergantungan, individualisme, mengasingkan diri, sehingga
sering timbul segi negatifnya, yaitu kesepian dan rasa tertekan.
Dalam
realitas perkembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan di Timur yang dirasakan
sekarang, tersembunyi suatu krisis dan guncangan kebudayaan yang hebat. Hal ini
sudah demikian mengeras sifatnya dan tak terelakan sehingga bangsa Timur ingin
memperlihatkan cirri khas budayanya dan sekaligus member corak pergaulan dunia,
sebab kebudayaan nilai tidak menghendaki adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta keberhasilan pengembangan penalaran yang disertai dengan wajah
angkuh, bengis, dan kejam. Oleh karena itu, adanya krisis ini menimbulkan
kesadaran untuk mempertahankan kembali relevensi nilai-nilai yang terkandung
dalam kebudayaan Timur. Menurut Alfian (1985: 36) ada tiga pola atau corak
reaksi dalam menghadapi tantangan kebudayaan Barat, yaitu:
a. Corak
reaksi yang menerima dan merangkul bulat-bulat kebudayaan Barat. Corak ini
menganggap kebudayaan Timur (sendiri) sudah tidak relevan lagi untuk menhadapi
kondisi sekarang, hanya kebudayaan Barat yang unggul dan mampu melahirkan
manusia yang berkualitas.
b. Corak
reaksi yang sama sekali anti kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan
Barat hanya melahirkan manusia buas dan kejam, dan kebudayaan Timur yang lebih
unggul.
c. Corak
reaksi yang berusaha melihat pembenturan kebudayaan Timur dengan Barat secara
realitis dan kritis. Krisis yang mengguncangkan tidak menyebabkan hilangnya
keseimbangan atau hanya memilih salah satu kebudayaan seperti digambarkan dalam
pola reaksinya. Corak reaksi ini berusaha mengambil jarak dan menilai secara
jujur keunggulan kebudayaan Barat dan kelemahan kebudayaan Timur, sekaligus
mempertahankan relevansi nilai-nilai kebudayaannya.
Melihat
kenyataan yang dihadapi bangsa Timur, yang menjadi strategi kebudayaan nasional
mungkin hanya corak reaksi ketiga, yaitu usaha mengadakan sintesis antara nilai
budaya Barat dan nilai budaya Timur, atau perpaduan keduanya secara selektif.
4. Rumusan
Tentang Kebudayaan Nasional Indonesia
Kita
menyadari bahwa kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudaan dan
bahasa sehingga, demi integrasi nasional, kita mempunyai rumusan Bhinneka
Tunggal Ika yang artinya Bhinna = pecah, Ika = itu, dan Tunggal = satu,
sehingga Bhinna Ika Tunggal Ika artinya “terpecah itu satu”.
Kita
bangga dengan rumusan tersebut, tetapi kita prihatin dengan aneka warna masalah
yang timbul akibat aneka warna bangsa kita. Dan yang paling pokok dalam
pembicaraan ini adalah masalah kebudayaan nasional Indonesia. Selain perbedaan
di dalam pengertian kebudayaan nasionalnya sendiri, juga hal ini menyangkut
masalah cita-cita suatu bangsa yang akan menentukan masa depannya.
Tidak
jarang sifat ke-bhinneka-an bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional
yang menyebabkan terganggunya integrasi nasional sebagai cita-cita bangsa.
Demikian pula masalah kebudayaan menyangkut kepribadian nasional dan langsung
mengenai identitas suatu bangsa. Dan logikanya proses pembangunan manusia dan
masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari unsure kebudayaan. Manusia dan
masyarakat tidak akan berhasil dalam pembangunan dirinya kalau selalu sadar
terhadap pengaruh kebudayaan yang tak mungkin dapat ditolaknya.
Berdasarkan
berbagai pertimbangan di atas, kita perlu menelusuri kebudayaan nasional
Indonesia. Pembicaraan kebudayaan nasional dimulai sejak tahun 1936 ketika
diselenggarakan polemik kebudayaan antara Sultan Takdir Alisjahbana c.s.
di satu pihak (sebagai wakil Golongan Indonesia Moeda) dan Sanusi Pane, Ki
Hajar Dewantara, serta Dr. Sutomo dipihak lain. Polemic ini lengkapnya ada
dalam buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Poestaka
pada tahun 1948.
Rumusan
tentang kebudayaan nasional itu dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu:
1. Ke-Indonesiaan
sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, mulai dari adat, seni, dan lain-lain.
Yang belum ada ialah nasion Indonesia. Jadi, yang perlu diusahakan oleh bangsa
Indonesia dalam membangun kebudayaan nasionalnya ialah bagaimana memperbaharui
kebudayaan sehingga sesuai dengan kebangsaan Indonesia. Jalan yang harus
ditempuh ialah perluasan dasar kebudayaan Indonesia dengan cara memesrakan
(menyerapkan, memadukan) materialisme, intelektualisme, dan individualisme
(Barat) dengan spritualisme, perasaan, dan kolektivisme (Timur). Aliran pertama
ini dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara c.s.
2. Aliran
yang dipelopori oleh SSultan Takdir Alisjahbana menghendaki penciptaan
kebudayaan nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Barat yang
dinamis. Kebudyaan nasional yang baru itu dengan sendirinya mencerminkan pula
watak dan kepribadian bangsa Indonesia yang berbeda dengan watak dan
kepribadian sebelumnya (masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia).
Kalau
diperhatikan dengan seksama, sebenarnya kedua aliran tersebut menghendaki
adanya peranan kebudayaan Barat dalam kebudayaan nasional, hanya dalam hal
peranannya yang berbeda. Aliran pertama – Ki Hajar Dewantara c.s.-
menghendaki perluasan dasar asas Barat. Bukan perubahan, melainkan perluasan
dengan asas Barat. Kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus
mementingkan kerokhanian, perasaan, gotong royong, bertentangan dengan
kebudayaan Barat yang mementingkan materi, intelektualisme, dan individualism.
Orang Indonesia tidak boleh melupakan sejarah dan kebudayaannya, sebab dengan
mempelajari sejarah dan kebudayaan di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan
yang baru. Kebudayaan Indonesia harus berakar pada kebudayaan pra-Indonesia.
Aliran
kedua Sultan Takdir Alisjahbana c.s. menghendaki semangat Barat yang
kreatif dalam segala lapangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia,
semangat menundukan alam untuk kepentingan manusia. Semangat Barat yang dinamis
pada hakikatnya bersaudara dengan semangat Indonesia. Jadi, diperlukan
perubahan mental dari yang statis kepada yang dinamis untuk membangun kebudayaan
nasional Indonesia. Kebudayaan nasional menurut Sultan Takdir Alisjahbana baru
muncul pada permulaan abad ke-20 oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan
bersemangatan ke-Indonesiaan. Kebudayaan Indonesia merupakan suatu kebudayaan
yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari
kebudayaan Barat yang universal. Unsur kebudayaan Barat tersebut adalah
teknologi, orientasi ekonomi, keterampilan berorganisasi secara luas, dan ilmu
pengetahuan. Orang Indonesia harus mempertajam akalnya dan mengambil alih
dinamisme dari Barat.
Pendapat
lain yang tidak mengikutsertakan unsur Barat adalah pendapat Harsya Bachtiar.
Harsya mengatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia di dalam masyarakat
Indonesia yang merdeka haruslah suatu kebudayaan “yang baru sama sekali”,
bersih dari kebudayaan feodalis dan atau sisa-sisanya, maupun dari ciri-ciri
arkais sekuisme atau macam-macam etnosentrisme lainnya.
Koentjaraningrat
berpendapat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi
ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga
ke zaman yang sekarang karena kebudayaan perlu member kemampuan bangsa
Indonesia untuk menghadapi peradaban dunia masa kini. Konsep Koentjaraningrat
tentang kebudayaan nasional bersifat operasional, yaitu berorientasi pada
warisan nenek moyang dari zama kejayaan dan pada zaman sekarang, yaitu zaman
modern (Barat). Dalam pemikiran ini tercermin adanya sintesis antara Barat dan
Timur, warisan dari zaman keemasan nenek moyang artinya sealiran dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantara c.s.
Karena
Indonesia mempunyai landasan Ideologi Pancasila, maka ditinjau dari perspektif
fungsional, pancasila akan diuji karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
akan menentukan orientasi tujuan sosio-politik serta serta kebudayaan pada
tingkat makro, akan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan
nasional. Pancasila dalam hal ini tidak hanya menjadi determinasi bagi
kehidupan moral bangsa, tetapi memiliki fungsi teologis (teori) akan memberikan
paying ideologis bagi berbagai unsur masyarakat.
Pancasila
dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang meliputi eksistensi
manusia Indonesia, dapat berfungsi sebagai etos kebudayaan nasional. Pancasila
sebagai etos kebudayaan Indonesia harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini, pancasila berfungsi sebagai kebudayaan normatif
yang akan menjelma berupa personalisasi. Personalisasi tersebut merupakan
kebudayaan nasional yang meliputi konsep kepribadian nasional dan identitas
nasional.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peristiwa-peristiwa
perubahan kebudayaan selalu melanda semua bangsa dan negara di dunia
demikian pula tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia. Peristiwa-peristiwa
perubahan kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas: cultural lag, cultural
survival, cultural conflict dan cultural shock. Fenomena ini tidak lain
diakibatkan oleh dua faktor yang berasal dari dalam dan faktor yang berasal
dari luar, faktor dari dalam yaitu bertambahnya atau berkurangnya penduduk,
penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, terjadinya
pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Sedangkan
faktor dari luarnya yaitu sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang
ada di sekitar manusia, peperangan dengan negara lain, serta pengaruh
kebudayaan masyarakat lain. Walaupun perubahan sosial dan perubahan kebudayaan
itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tidak akan mencapai suatu
pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya.
3.2 Saran
Kebudayaan
bangsa Indonesia merupakan kebudayaan yang terbentuk dari berbagai macam
kebudayaan suku dan agama sehingga banyak tantangan yang selalu merongrong
keutuhan budaya itu tapi dengan semangat kebhinekaan sampai sekarang masih
eksis dalam terpaan zaman. Kewajiban kita sebagai anak bangsa untuk tetap
mempertahankannya budaya itu menuju bangsa yang abadi, luhur, makmur dan
bermartabat. Penulis juga menyarankan kepada seluruh lapisan masyarakat
terutama anak muda untuk menyaring seluruh kebudayaan asing yang masuk ke
budaya Indonesia, dalam hal ini kita perlu bersifat bijak dengan seksama dan
cermat dalam menghadapinya agar jika suatu saat nanti kita mengahapi
peristiwa-peristiwa kebudayaan kita tidak mengalami guncangan yang dapat
mengganggu psikologis sehingga kita dapat menerimanya dengan bersifat terbuka
sesuai dengan tuntutan zaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Jacobus
Ranjabar, S.H., M.Si., Sistem Sosial Budaya Indonesia suatu
pengantar, Bandung: CV. Alfabeta, 2013
M.
Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial Rekontruksi Normalitas Relasi
Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem, Jakarta: Institut Pembelajaran
Gelar Hidup [IPGH], 2014
Prof.
Dr. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013
Prof.
Dr. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, 2009
Dr.
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Pengantar ke Arah Ilmu Sosial
Budaya Dasar/ISBD/Social Culture, Bandung: PT. Refika Aditama, 2012
Dr.
Esti Ismawati, M.Pd., Ilmu Sosial Budaya Dasar, Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2012
[1] Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi edisi pertama,
Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, halaman
115.
[3] Pitirim
A. Sorokin, Comtemporary Sociological Theories, (New York: Harper and
Brothers, 1928), hlm. 739.
[5] Paul
Bohannan: Social Anthropology (New York: Holt Rinehart and Winston etc 1963),
hlm. 360 dan seterusnya.
[7] Clifford
Geertz, The Social Context of Economic Change: An Indonesian Case Study,
mimeographed paper, MIT, Cambridge Mass, 1956, hlm. 13. Bacalah juga W.F
Wetheim, East-West Parallels, W. van Hoege, the Hague, 1964, hlm. 217.
[10] Henry
Pratt Fairchild and 100 authorities, Dictionary of Sociology and Related
Science,Littlefield, Adams & Co, Ames-lowa, 1976, hlm. 282 dan 288:
bandingkanlah dengan William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, op.cit., hlm. 757
dan seterusnya.
[11] Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, op.cit., hlm. 489. Mac Iver dan Page dalam
bukunya Society, an introductory analysis, menyebutkan lingkungan
alam fisik, faktor teknologi dan faktor kebudayaan sebagai penyebab perubahan-perubahan.
Lihat hlm. 509, 531, 542, 574 dari buku tersebut.
[12] Koentjaraningrat, Pengantar
Antropologi, (Jakarta: Penerbit Universitas, 1965), hlm. 135 dan
seterusnya.
[14] R.
Soepomo, De verhouding van individu en gemeenschap in het
adatrecht, rede uitgesproken bij de aanvaarding van het ambt van
buitengewoon hoogleraar in het adatrecht aan de Rechtshogeschool the Batavia
op. 31 Maret 1941, J.B. Wolters Gronigren, Batavia, 1941, hlm. 20.
[21] Bacalah
“The Modernizaion of Man” oleh Alex Inkeles, dalam Modernization: The
dynamics of growth, Myron Weiner, (ed)., Voice of America Forum Lectures,
Cambridge-Mass, 1966 halaman 151-163
Comments
Post a Comment