makalah peta dakwah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
perlahan namun pasti, umat manusia menjalin hubungan mesra satu sama lain
melalui perantaraan kecanggihan teknologi komunikasi. Sementara politik dan
ekonomi secara kasat mata biasanya senantiasa mempertahankan berbagai ’jurang
pertentangan’ di antara manusia. Inilah salah satu bentuk dari keajaiban
peradaban kontemporer, dimana manusia dapat saling berbagi cerita dari ujung
bumi yang satu ke ujung bumi lainnya dalam suatu hitungan sepersekian detik.
Globalisasi
menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, baik di
bidang ekonomi, politik, social dan budaya. Globalisasi sejatinya adalah anak
kandung dari kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya dilakukan dalam suatu
negara kemudian merambah ke dunia lain dan demi memasarkan produk-produk mereka
dan mencari keuntungan demi mengakumulasikan modal. Bila pada masa
kolonialisme, kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan
perluasan pasar namun masa pascakolonial kapitalisme “membonceng” kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan.
Era globalisasi mendorong adanya pasar bebas
yang membuat modal begitu mudah keluar atau masuk dalam suatu negara.
Menghindari pasar bebas akan membuat suatu negara terisolasi dari pergaulan
internasional. Selain itu, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah
menjadikan batas-batas negara menjadi samar. Dan pada akhirnya menjadi alasan
kuat untuk memberikan perhatian pada masalah identitas budaya nasional. Karena
dengan adanya adopsi proses suatu bentuk teknologi komunikasi dan informasi
tersebut, memberikan berbagai bentuk implikasi tertentu dalam pola hubungan
ekonomi, politik, sosial, dan budaya, baik di dalam masyarakat itu sendiri
sebagai akibat masuknya rasionalitas teknologis modern ke dalam sistem
berpikir masyarakat yang tradisional, maupun pada saat berinteraksi antarnegara
akibat masuknya negara ke dalam perangkap ketergantungan terhadap negara lain yang bisa disebut hegemoni.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hegemoni
?
2. Bagaimana hegemoni menurut
teory Gramscy ?
3. Bagaimana hegemoni
budaya yang terjadi di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hegemoni
Hegemoni sering
dikacaukan dengan ideologi. Padahal hegemoni berasal dari akar
kata hegeisthai (Yunani), berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang
melebihi kekuasaan lain. Jadi, secara leksikografis hegemoni berarti
‘kepemimpinan’. Adapun ideologi sendiri berarti sistem berpikir. Secara
leksikografis ideologi berasal dari akar kata idea +
logia/logos (Yunani). Secara
literal hegemoni berarti “kepemimpinan”. Gramci menggunakan konsep itu untuk
meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang
lewatnya, dalam suatu masyarakat, suatu kelas fundamental dapat membangun
kepemimpinan sebagai suatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang
bersifat memaksa. Hegemoni memperkenalkan dimensi kepemimpinan moral dan
intelektual dan mengindikasikan berbagai macam cara yang didalamnya
kepemimpinan itu sudah dibangun secara historis.[1] Hegemoni
lebih terkait pada pengetahuan yang berdasarkan kesepakatan daripada kekerasan
dan perebutan kekuasaan, dalam hal ini adalah kepemimpinan intelektual. Dalam
bahasa Yunani Kuno kata hegemoni dipakai untuk menunjukan kedudukan yang lebih
kuat.
Adapun istilah
ideologi diperkenalkan oleh filsuf Perancis Destutt de Tracy untuk menjelaskan
ilmu tentang ide: yaitu sebuah disiplin ilmu yang memungkinkan orang untuk
mengenali prasangka-prasangka dan bias-bias mereka. Ideologi adalah nilai-nilai
yang melanggengkan struktur kekuasaan dominan atau suatu proses di mana sebuah
budaya memproduksi makna dan peran-peran bagi subjek-subjeknya. [2]
Hegemoni
dalam Encyclopedia Britanika diambil dari kata “eugemonia” yang dalam
praktiknya di Yunani diterapkan untuk menunjukan dominasi posisi yang diklaim
oleh negara-negara kota (polis ataucitystates) secara individual. Dalam
penggunaan kata hegemoni menurut pengertian Antonio Gramsci, penguasaan suatu
bangsa terhadap bangsa lain. Atau lebih kecilnya penguasaan suatu kelas
terhadap kelas lain. Sebelum dikembangkan oleh Gramsci, kata hegemoni telah
dipakai oleh beberapa pengikut Marxis, yakni Plechanov, Lenin, Axelrod, dan
Lukacs. Hegemoni tersebut merujuk kepada kepemimpinan politik yang dilakukan
untuk kaum proletar. Gagasan hegemoni pertama kali diperkenalkan oleh marxis Rusia,
Plekhanov pada 1883-1884. Gagasan tersebut telah dikembangkan sebagai bagian
dari strategi untuk menggulingkan Tsarisme. Istilah tersebut menunjukkan
kepemimpinan hegemoni yang harus dibentuk oleh kaum proletar, dan
wakil-wakilnya, dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk
beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri
negara polisi Tsaris. Istilah hegemoni ini sebenarnya untuk menunjukkan
perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani sebagai tujuan
meruntuhkan gerakan Tsarisme.
Hegemoni
diterima sebagai sesuatu yang wajar, sehingga ideologi kelompok dominan dapat
menyebar dan dipraktikkan .Nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan
dan dipertahankan oleh pihak dominan sedemikian sehingga pihak yang didominasi
tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompokpenguasa.Dalam hegemoni,
kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi kelompok yang didominasi untuk
menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan (the
ruling party, kelompok yang berkuasa). Hegemoni dapat dilihat
sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan Kesimpulannya, jika dilihat sebagai strategi, maka konsep
hegemoni bukanlah strategi eksklusif milik penguasa.Maksudnya, kelompok manapun
boleh menerapkan konsep hegemoni dan menjadi penguasa.Sebagai contoh hegemoni,
adalah kekuasaan dolar amerika terhadap ekonomi global kerana kebanyakan
pemindahan antara bangsa dilakukan menggunakan nilai dolar Amerika.
B.
Teori Hegemoni Menurut Gramscy
Antonio Gramsci
adalah tokoh neo-Marxis yang hidup pada masa kehancuran revolusi sosial di
Eropa Barat tahun 1918-1923, dan menyaksikan organisasi buruh dan gerakan sosialis
dihancurkan oleh fasisme pada tahun 1922-1937. Ia
menyaksikan betapa kuatnya komitmen sebagian besar masyarakat untuk menegakkan
negara modern – kendati tengah menghadapi krisis, ketika mereka kehilangan
harapan di dalamnya.[3] Konsep
hegemoni memang dikembangkan Gramsci atas dasar dekonstruksinya terhadap
konsep-konsep Marxis ortodoks. Berdasarkan
dua fenomena historis tersebut Gramsci tertarik untuk melihat bagaimana
sesungguhnya kekuasaan itu harus ditegakkan. Dia menganalisis kekalahan kelas
buruh dengan kesimpulan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena kaum
proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala mayoritas masyarakat
dalam jumlah yang besar, tetapi sebaliknya kelas buruh terpengaruh oleh
kelas-kelas sosial lainnya sehingga kegiatan mereka terlumpuhkan.
Adapun teori
hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: “Sebuah pandangan hidup
dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang
kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun
perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral,
prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,
khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Gramsci
menambahkan pengertian hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta
anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan
kekuasaan yang sudah diperoleh. Berdasarkan
ulasan tersebut hegemoni dapat diartikan sebagai praktik kepemimpinan budaya
dan politik yang dilakukan oleh kelas berkuasa dengan perubahan menggunakan
ideologi sebagai pengaruhnya. Oleh sebab itu dalam hegemoni sudah barang tentu
terdapat ideologi, tetapi tidak sebaliknya.
Mengenai istilah
kelas pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Romawi Kuno dan sepanjang
sejarahnya istilah itu telah mengalami pergeseran arti. Penguasa Romawi Kuno
mengunakan istilah itu dalam konteks penggolongan terhadap pembayar pajak.
Mereka membagi masyarakat Romawi menjadi dua golongan
yaitu: assidui atau golongan kaya dan proletariat atau
golongan miskin. Pada abad ke-18, istilah kelas ini digunakan oleh ilmuan Eropa
dalam pengertian yang berbeda dengan pengertian semula, yaitu disebut status
atau kedudukan. Pada masa itu, istilah kelas dan status digunakan untuk
menunjuk kepada pengertian yang sama. Pada abad ke-19 istilah kelas mulai
digunakan dalam konteks analisis kesenjangan sosial yang berakar pada kondisi
ekonomi. Sejak Marx mengajukan konsepsi tentang kelas, penggunaan istilah itu
dibedakan dalam pengunakan istilah status.[4] Istilah
tersebut menunjuk pada dimensi tatanan sosial suatu masyarakat. Kelas merupakan
stratifikasi sosial berkenaan dengan hubungan produksi dan penguasaan harta
benda. Sedangkan kelompok status menurut Weber merupakan perwujudan
stratifikasi sosial berkenaan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan yang mengkonsumsi harta benda sebagaimana yang
dicerminkan oleh gaya hidup khusus. Definisi kelas juga disederhanakan oleh
Aron menjadi dua kutub definisi, yaitu definisi ilmuan sosiologi Amerika dan
definisi ilmuan sosiologi Eropa.
Hegemoni itu
sendiri oleh Gramsci diartikan sebagai praktik kepemimpinan budaya yang
dilakukan olehruling class, yang menjadi isi dari filsafat praxis.
Perubahan tidak ditempuh melalui praktik coercion yang menggunakan
kekuasaan eksekutif dan legislatif atau intervensi yang dilakukan polisi,
melainkan menggunakan ideologi. Dengan
demikian ideologi dapat dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok
sosial tertentu, bersifat seperti kekuatan perekat yang mengikat berbagai kelas
dan strata yang berbeda-beda.
Hegemoni merupakan
hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemoni atau kelompok
hegemonik, adalah kelas yang mendapat persetujuan dari kekuatan dan kelas
sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui
perjuangan politik dan ideologis.
Dalam hegemoni
terdapat hubungan antar kelas melalui kekuatan sosial. Hubungan ini telah
mendapat dukungan dari kelas sosial lain. Hubungan dijaga dengan cara
mempertahankan sistem tersebut melalui berbagai bentuk perjuangan, menciptakan
kontrol sosial, terutama yang bersifat ideologis. Hal ini menciptakan jurang
dan kesenjangan sosial tertentu bagi kelas yang tidak setuju sebab hal itu
dianggap sumber kekuasaan tunggal. Hal
ini mengingatkan pada konsep Gramsci tentang negara integral di mana kekuasaan
tunggal dipegang oleh kelas yang berkuasa tersebut dengan consensus.
Dalam suatu negara
integral di dalamnya ada tujuan-tujuan yang didasarkan pada seperangkat gagasan
dan nilai, suatu falsafah bersama yang dimiliki oleh sebagian besar orang
berdasarkan persetujuan yang aktif dan diberikan secara bebas. Persetujuan
tidak dimanipulasi dan tidak dihasilkan oleh ketakutan terhadap kekuatan
koersif.
Bagi Gramsci,
kekuasaan (hegemoni) mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum tertindas
untuk menentang kekuasaan tunggal. Dapat dikatakan, menurut Gramsci, hegemoni terjadi apa bila cara berpikir
kelompok tertindas, khususnya kaum proletar atau kelas sosial ini telah
terobsesi menerima cara berpikir kelompok dominan yang memegang kekuasaan
tunggal tersebut.
Konsep hegemoni Gramsci juga dapat dilihat dari penjelasannya
mengenai supremasi kelas. Supremasi
sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai dominasi dan sebagai
kepemimpinan intelektual dan moral. Dalam hal ini, sebuah kelompok sosial
mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk “menghancurkan” atau menundukkan
mereka, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan bersenjata; di lain pihak,
kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Sebuah
kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan “kepemimpinan” sebelum
memenangkan kekuasaan pemerintahan. Kelompok sosial akan menjadi dominan ketika
ia mempraktikan kekuasaan.
Supremasi kelas
diwujudkan dalam dua cara yaitu dominasi dan kepemimpinan intelektual. Dominasi
dilakukan untuk menundukan lawan dengan cara kekerasan dan bahkan menggunakan
senjata. Adapun kepemimpinan intelektual dengan cara memegang kepemimpiannya
tanpa kekerasan. Sebuah kelompok sosial akan menjadi dominan bila ia
mempraktikan kekerasan. Dapat disimpulkan bahwa supremasi kelas didukung oleh
dua konsep yaitu kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Konsep
kepemimpinan dan dominasi itu sendiri diterapkan Gramsci karena melihat dua
fenomena penting dalam sejarah Rusia (Tsar) dan Italia (Barat) dalam pengambilalihan
atau perebutan hegemoni.
Di Timur negara
adalah segalanya, masyarakat sipil adalah primordial dan lemah; di Barat,
terdapat hubungan yang serasi antara negara dan masyarakat sipil, dan ketika
negara mengalami goncangan maka struktur masyarakat sipil segera
menggantikannya. Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa
pemerintah negara-negara di Timur memiliki kekuasaan yang lebih besar dari
masyarakat sipilnya sedangkan di Barat kedudukann antara pemerintah dan
mesyarakat sipilnya setara. Melihat
kenyataan tersebut, dalam kerangka penyusunan strategi, Gramsci mengembangkan
dua konsep yaitu war of movement atau perang gerakan dan war of
potition atau perang posisi. Pernyataan di atas memperlihatkan di
Timur (Rusia) perang gerakan sangat berhasil karena kekuatan masyarakat
sipil merupakan gabungan dari golongan elit feodal, borjuis, dan intelektual
yang berkuasa sedangkan petani yang terpinggirkan posisinya sangat lemah.
Sedangkan di Barat (Italia) sebaliknya, kekuatan negara tertanam dalam masyarakat
sipil yang kuat dan kompleks. Perang gerakan merujuk pada perebutan
kekuasaan yang dilakukan melalui konfrontasi langsung. Dalam hal ini dapat
diartikan dalam bentuk kekerasan atau dominasi. Adapun perang posisi
sebaliknya, kedudukan masyarakat sipil sama kuatnya sehingga diterapkanlah
konsep kepemimpinan.
Sebenarnya
hegemoni sendiri melibatkan pendidikan dan pemenangan konsensus, daripada
pemakaian kekuatan brutal dan koersi semata. Hegemoni
lebih terkait pada pengetahuan yang berdasarkan kesepakatan, daripada kekerasan
dan perebutan kekuasaan. Hegemoni bukanlah dominasi dengan menggunakan
kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan pendekatan politik
dan ideologi. Dalam hal ini
adalah kepemimpinan intelektual. Hegemoni dapat dicapai melalui kombinasi
antara paksaan dan kerelaan.
Gramsci mengatakan
bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah hubungan. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa relasi atau hubungan antara kelas dengan
kekuatan sosial lain dapat menciptakan suatu kelas lain. Secara tidak langsung
kekuatan kelas lain tersebut menanamkan ideologinya kepada kelas tersebut,
terutama dalam bentuk kepemimpinan intelektual dan kelas lain tersebut dapat
menerimanya dengan terpaksa ataupun sukarela. Hal ini dapat pula terjadi sebaliknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses hegemoni harus dilakukan
terus-menerus atau berkelanjutan agar ideologi dapat terus ditanamkan sekaligus
terus disetujui oleh kelas tersebut.
Kelas hegemonik,
atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dan
kekuatan dari kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan
sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Dengan adanya
kelas hegemonik atau kelas yang menghegemoni tersebut maka terbentuk kelas lain
yang mendukung ideologi kelas hegemonik tersebut. Kelas yang terhegemoni ini
dapat berkembang menjadi kelas hegemonik pula. Kelas hegemonik ini dapat
terbentuk dari konsep supremasi hegemoni terutama strategi kepemimpinan
sekaligus melalui konsensus. Kelas hegemonik yang berhasil membangun blok
kekuatan sosial yang mampu bertahan dan mempertahankan aliansinya melalui
perjuangan politik dan ideologis sepanjang periode sejarah tersebut disebut
Gramsci blok historis (histories bloc).
C.
Hegemoni Budaya Yang Terjadi di Indonesia
Berdasarkan pemikiran Gramsci
tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau
dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok
masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat
lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya.
Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas
dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Jika direfleksikan ke dalam kehidupan
sosial-politik di Indonesia saat ini, maka dapatdicontohkan adanya ‘pasar
modern ‘ yang marak saat ini dan menyebar hampir keseluruh wilayah di
Indonesia. Pasar modern ini contohnya ada berbagai macam, diantaranya yang saya
tahu adalah mini market(Alfamart,Indomaret, dsb) lalu adanya Mall yaitu
Metropolitan Mall, Giant, Bekasi Cyber Park, Bekasi Square, dsb. Serta makin
maraknya bisnis waralaba yang ada dan datang dari Barat seperti KFC, McDonald,
CFC, A&W, dsb.
Dari
ketiga contoh tersebut dapat dikategorikan ke dalam bentuk hegemoni yang
dilakukan oleh klas-klas borjuis menurut Gramsci dan penikmatnya termasuk klas
proletarian. Dalam tulisan ini akan lebih memfokuskan pada refleksi tentang
hegemoni dalam bentuk mall. Karena menurut mall adalah
salah satu bentuk hegemoni berlapiskan budaya. Jika kita perhatikan, kini
semakin maraknya pembangunan mall-mall di tanah air baik di
ibu kota maupun di daerah. Dengan hadirnya mall di hampir setiap daerah,
ternyata menimbulkan dampak yang cukup berarti.
Melalui mall banyak hal yang dapat terjadi, lifestyle kita dipengaruhi.Mulai dari fashion, makanan, dsb.
seolah-olah mall adalah sesuatu yang mempunyai legitimasi untuk membuat
parameter seperti apakah seharusnya lifestyle masyarakat
saat ini. Mall lah yang dapat menjustifikasi mana yang modern
dan mana yang norak.Disitulah, terjadi hegemoni budaya yang dikemas
dalam pola lifestyle yang berpola pada kebudayaan tertentu,
dan disini negara pun ikut menjadi pelaku dari tindakan ‘hegemoni’.Peran negara
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maka negara punya andil besar telah
memberikan ijin bagi para pengusaha mall untuk mendirikan
usahanya dan mengalahkan pasar tradisional.Maka dapat disimpulkan
bahwa hegemoni yang dilakukan oleh mall mempunyai dampak yang signifikan
dalam masyarakat Indonesia masa kini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hegemoni dapat
didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya,
dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga idea-idea yang ditekankan oleh
kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu
yang wajar (common sense).
Kelas dominan
melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas
dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari,
mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.
Dominasi
budaya yang dilakukan melalui media massa oleh masyarakat barat pada akhirnya
mulai disadari sebagai bentuk imperialisme budaya baru. Kekuatan-kekuatan
dominan yang dimiliki negara-negara maju (pusat) tersebut sebagai pihak
penguasa teknologi, juga digunakan untuk mendominasi kaidah-kaidah moral dan
intelektual yang berlaku di masyarakat negara-negara berkembang (pinggiran)
sebagai pihak pengadopsi teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Dwipayana Ari, Kelas dan
Kasta, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001.
Cavallaro ,Dani, Teori
Kritis dan Teori Budaya , Yogyakarta: Niagara, 2004.
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1994.
Maliki,
Zainuddin, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik, Surabaya:
LPAM, 2003.
Comments
Post a Comment