makalah retorika dakwah


Pengertian Da’i Secara Pribadi
A.  Latar Belakang
       Peran da’I sebagai tokoh masyarakat dalam pembangunan sangat penting, karena posisinya sebaga seorang “opinion leader” yaitu orang yang berpengaruh besar dalam mengambil keputusan. Pembangunan pada dasarnya adalah suatu proses yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam hal ini adalah kesejahteraan untuk individu maupun kelompok.
       Dalam lingkungan masyarakat, dibutuhkan peran da‘i  atau tokoh informal yang harus berperan untuk merangkul dan memberikan pemahaman keagamaan terhadap perubahan social masyarakat di desa tersebut. Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang Peran Da‘I Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat.
       Keberhasilan dakwah akan sangat bergantung kepada bagaimana da’i tersebut berdakwah. Tidak hanya penguasaan materi yang diluar kepala, kemampuan dai dalam mengenal dan memahami ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dakwah itu sendiri. Salah satu anasir ilmu dakwah tersebut ialah membahas tentang strata Mad’u, tipologi Mad’u dan Sasaran-nya.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Da’i ?
2.      Bagaimana Karakteristik Da’i ?
C.  Pengertian Da’i
       Kata da’i digunakan untuk sebutan orang berdakwah atau sebagai sebutan bagi orang yang menyebarkan agama Islam. Umar Hasyim berpendapat bahwa da’i mempunyai pengertian pengundang, pengajak, mengundang manusia kepada agama Allah, yakni agar manusia mau beriman dan melaksanakan ajaran-ajaran Allah SWT.[1] Da’i sebagai teladan moralitas, juga dituntut lebih berkualitas dan mampu menafsirkan pesan-pesan dakwah kepada masyarakat. Sesuai dengan tuntutan pembangunan umat, maka da’i pun hendaknya tidak hanya terfokus pada masalah-masalah agama, tapi mampu memberi jawaban dari tuntutan realitas yang dihadapi masyarakat saat ini.
       Da’i adalah seseorang yang melakukan ajakan atau orang yang menyampaikan ajaran (muballigh). Subjek dakwah merupakan unsur penting dalam pelaksanaan dakwah karena seorang da’i akan menjadi pemandu titian yang mengemban misi risalah dan diserukan kepada objek dakwah dengan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seorang da’i dituntut mampu mengetuk dan menyentuh hati umat yang dihadapinya secara profesional agar misi yang disampaikan dapat diterima oleh umat.
       Da‘i juga diartikan sebagai seseorang yang menyampaikan pesan pesan tentang mengajak umat manusia kepada jalan Allah dengan tujuan mewujudkan kebahagian dan kesejahteraan hidup dunia akhirat yang di ridhai Allah, semua pribadi umat Islam yang mukallaf secara otomatis memiliki kewajiban untuk menyampaikan kebaikan kepada umat manusia di dunia, para ‘Ulama telah sepakat bahwa melaksanakan dakwah adalah wajib.[2]
D.  Karakteristik Da’i
       Setiap orang menjalankan aktivitas dakwah, hendaklah memiliki kepribadian yang baik seorang da’i. Hal ini karena seorang da’i adalah figur yang dicontoh dalam segala tingkah laku dan dan geraknya. Oleh karena itu, ia hendaklah menjadi uswatun hasanah bagi masyarakatnya.
       Da’i ibarat guide atau pemandu terhadap orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Ia adalah petunjuk jalan yang harus mengerti dan memahami jalan yang boleh dilalui dan mana jalan yang tidak boleh dilalui oleh seorang muslim, sebelum ia memberi petunjuk jalan pada orang lain. Oleh karena itu, ia ditengah masyarakat memiliki kedudukan yang penting sebab ia adalah seorang pemuka (pelopor) yang selalu diteladani masyarakat. Perbuatan dan tingkah lakunya selalu dijadikan tolak ukur oleh masyarakat. Ia adalah seorang pemimpin ditengah masyarakat walau tidak pernah dinobatkan resmi sebagai pemimpin. Kemunculan da’i sebagai pemimpin adalah atas pengakuan masyarakat yang tumbuh secara bertahap.
       Dari kedudukannya yang sangat penting ditengah masyarakat, seorang da’i harus mampu menciptakan jalinan komunikasi yang erat antara dirinya dan masyarakat. Ia harus mampu bertindak dan bertingkah laku yang semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin. Ia harus mampu berbicara dengan masyarakatnya denagn bahasa yang bisa dimengerti oleh masyarakatnya. Oleh karena itu seorang da’i juga harus mengetahui dengan pasti tentang latar belakang dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.
1.      Da’i sebagai Komunikator
             Peranan da’i atau muballigh sangat penting dan strategis. Da’i sebagai sumber daya dakwah utama harus memahami dan melaksanakan semua langkah strategis yang diuraikan di muka, yaitu mengenal khalayak, merencanakan pesan, menetapkan metode dan memilih media serta mewarnai media massa dan media interaktif sesuai kondisi khalayak yang dijadikan sasaran (publik). Da’i adalah komunikator dakwah yang terdiri atas individu atau individu-individu yang terhimpun dalam suatu lembaga dakwah (organisasi sosial). Da’i atau muballigh dapat juga merupakan orang-orang yang terlembagakan dalam media massa (pers, film, radio dan televisi).
             Peradaban masa kini lazim disebut peradaban masyarakat informasi, dimana informasi menjadi salah satu komoditi primer dan bahkan dapat menjadi sumber kekuasaan karena dengan informasi, pendapat umum (public opinion) dapat dibentuk untuk mempengaruhi serta mengendalikan pikiran, sikap, perilaku orang lain.[3] Itu sebabnya dakwah sebagai salah satu bentuk penyampaian informasi tentang ajaran agama harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan memadai berkaitan dengan ilmu komunikasi. Dapat dikatakan bahwa, da’i dituntut untuk menjadi komunikator yang baik. Beberapa hal yang harus dimiliki da’i untuk menjadi komunikator yang baik antara lain: a. Memiliki kemampuan retorika
             Kemampuan retorika bukan hanya berkenaan dengan kemampuan mengekspresikan materi dakwah secara verbal, namun juga menyangkut style atau gaya khas da’i dalam menyampaikan materi dakwah. Style tersebut tidak perlu dibuatbuat, namun perlu dilatih secara praktis dan sesuai dengan kepribadian da’i sehingga da’i merasa nyaman menggunakannya.
             Memiliki pengetahuan dasar tentang psikologi individu serta sosial Ilmu psikologi merupakan ilmu pendamping dalam membantu da’i menentukan karakteristik, kecenderungan serta kondisi mad’u, sehingga mampu menentukan materi dakwah dan cara penyampaiannya secara tepat. Ilmu ini dapat dipelajari dengan mengikuti berbagai pelatihan atau secara otodidak lewat membaca buku serta berbagi pengalaman sesama da’i.
             Memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai media untuk kegiatan dakwah karena Sudah bukan zamannya lagi seorang da’i gagap teknologi. Perkembangan media elektronik dan sosial saat ini membuat arus informasi mengalir begitu deras kepada masyarakat tanpa terbendung. Sesudah melihat banyak hal baru, tentunya mad’u akan kehilangan minat ketika mendengarkan dakwah yang disampaikan ala kadarnya. Dibutuhkan kemasan yang menarik untuk membangkitkan kembali minat mad’u. Da’i dapat memanfaatkan media sosial untuk mengemas materi dakwah menjadi lebih hidup, misalnya dengan menampilkan cuplikan video, foto atau gambar yang dapat membantu mad’u memahami materi dakwah.
2.      Da’i sebagai konselor
             Da’i sebagai konselor, pada dasarnya merupakan interaksi timbal-balik yang di dalamnya terjadi hubungan saling mempengaruhi antara konselor sebagai pihak yang membantu dan klien sebagai pihak yang dibantu. Hanya saja, mengingat konselor diasumsikan sebagai pribadi yang akan membimbing konseli dalam mencapai tujuan tertentu, maka dalam relasi ini sangat dibutuhkan adanya kapasitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang konselor. Kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dimiliki konselor, yang akan menentukan keberhasilan (efektivitas) proses bimbingan dan konseling. Salah satu kualitas yang kurang dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor, yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan efektivitas konseling.[4] Da’i sebagai seorang konselor harus mampu berperan antara lain:
a.       Mendampingi dan membina masyarakat
       Cara ini tidak harus diaplikasikan secara formal dan kaku, namun dapat mengalir sejalan dengan pergaulan da’i dalam masyarakat. Kuncinya adalah da’i mampu masuk ke dalam setiap lapisan masyarakat, baik dalam komunitas yang taat beribadah, komunitas yang awam terhadap pengetahuan agama, bahkan juga komunitas non muslim. Dalam hal ini da’i perlu belajar untuk bersikap toleran dan fleksibel demi kepentingan dakwah. Artinya, ketika da’i mendapati kondisi yang menyimpang menurut ajaran agama, da’i tidak harus tergesa-gesa menghakimi dan mengeluarkan pernyataan tentang benar atau salahnya sebuah kejadian. Da’i perlu mencari tahu sebab kejadian, mendalami karakteristik komunitas yang melakukan penyimpangan, menentukan solusi yang tepat dan memgimplementasikan solusi secara bertahap sehingga masyarakat tidak menjauh karena merasa digurui.
b.      Mendampingi dan membina muallaf
       Hingga saat ini, masih banyak muallaf yang belum mendapatkan bimbingan dan pembinaan secara maksimal. Padahal tidak sedikit muallaf yang demi hijrah ke agama Islam telah rela kehilangan harta dan keluarga, sehingga harus memulai lagi dari nol. Dalam kondisi tersebut, jangan sampai mereka merasa sendirian, karena pada dasarnya begitu masuk Islam, mereka adalah saudara seiman bagi seluruh umat Islam. Kenyataannya, sebagian besar da’i masih kurang menaruh minat pada pekerjaan besar ini. Da’i dapat berperan serta dengan bergabung ke dalam lembaga dakwah yang concern terhadap pembinaan muallaf. Dengan peran ini da’i mendapatkan dua hal sekaligus, yakni melaksanakan pengabdian terhadap agama dan mendapatkan pengalaman serta nilai-nilai kehidupan yang berharga dari muallaf binaan, yang nantinya dapat memperkaya materi dakwah.
c.       Mendampingi dan membina organisasi sosial keagamaan Perkembangan             Interpretasi manusia terhadap ajaran agama telah memunculkan berbagai kelompok keagamaan.Biasanya, kelompok tersebut terbentuk dari sekumpulan orang yang memiliki kesamaan prinsip atau pemahaman dalam beragama. Pendampingan dan pembinaan da’i terhadap kelompok semacam ini sangat penting untuk mencegah sikap fanatisme berlebihan dan menumbuhkan toleransi antar kelompok keagamaan yang berbeda. usaha ini akan mengurangi resiko terjadinya disintegrasi yang pada akhirnya akan memicu konflik dalam masyarakat. Dalam hal ini, da’i perlu memperkaya pengetahuan tentang keragaman interpretasi dalam beragama dengan mencari kasus-kasus keagamaan di berbagai daerah dan manca negara, mengamati bagaimana masalah tersebut diselesaikan, serta menganalisa sejauh mana tingkat keberhasilan dalam penyelesaian kasus tersebut.
d.      Mendampingi dan membina anak muda
       Generasi muda merupakan investasi bagi sebuah bangsa. Sedemikian pentingnya, sehingga jika generasi muda mengalami kerusakan moral, maka bangsa tersebut dapat dianggap telah rusak. Arus globalisasi serta westernisasi lewat berbagai media terlalu deras untuk ditahan, maka yang dapat dilakukan adalah mengawasi serta menanamkan filter sekuat mungkin pada generasi muda. Untuk melakukan hal ini, da’i perlu memahami jiwa generasi muda, memikirkan berbagai kegiatan positif dan menggerakkan anak-anak muda di sekitar lingkungan da’i dalam pelaksanaannya. Dengan keikutsertaannya, anak muda akan belajar melaksanakan tanggung jawab, menemukan identitas diri sekaligus menyalurkan energi dengan cara yang benar.
       Kemampuan da’i sebagai konselor dapat diasah setidaknya lewat tiga cara. Pertama, membangun hubungan pribadi dengan mad’u. Da’i perlu membangun keakraban dan mengenal mad’u secara personal, sehingga mad’u bersedia membuka diri. Hal ini dapat memudahkan da’i dalam mengidentifikasi akar masalah pada diri mad’u dan menetapkan langkah tepat sebagai solusinya. Kedua, menumbuhkan sikap pengertian terhadap kecenderungan mad’u. Da’i perlu memahami kondisi jiwa mad’u. sebuah solusi yang seharusnya efektif bisa menjadi tidak berarti jika diterapkan pada waktu yang salah. Dengan melihat sikap mental mad’u, da’i dapat memilih mana solusi yang bisa diterapkan saat itu, dan mana yang harus menunggu kesiapan mad’u. Ketiga, bersikap sabar terhadap mad’u. Pada dasarnya, sesuai dengan fungsi ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, tujuan dakwah da’i adalah terciptanya kebaikan umat secara umum, bukan hanya orang Islam. Secara otomatis, da’i akan menghadapikondisi yang berbeda dari berbagai komunitas dalam masyarakat. Kemampuan da’i dalam bergaul memiliki peran besar dalam menentukan penerimaan berbagai komponen masyarakat yang heterogen tersebut. Dalam hal ini, fleksibilitas dan toleransi da’i menjadi kunci penghubung interaksi antara da’i dengan masyarakat.
       Syarat utama untuk mengembangkan peran da’i sebagai seorang konselor adalah kepercayaan. Sebagaimana diketahui, nabi Muhammad saw dikenal sebagai al-amin ( yang terpercaya). Gelar ini diberikan karena setiap sikap, tindakan dan perkataan beliau merupakan sesuatu yang membawa nilai positif dan kebenaran, sehingga timbul kepercayaan di hati masyarakat terhadap beliau. Nabi Muhamamd saw telah tercatat dalam sejarah umat manusia sebagai tokoh nomor satu dari 100 tokoh dunia yang berhasil menggerakkan perubahan dengan pendukung yang sangat besar. Fakta ini membawa pesan bahwa da’i harus mampu mengambil tempat di hati masyarakat sebagai sosok yang dapat dipercaya. Dengan kata lain, dakwah harus dimulai dari diri para da’i dan muballigh agar terpercaya dalam masyarakat sebagai seorang yang dapat dipegang kredibilitasnya.
3.      Da’i sebagai Problem Solver
             Da’i masa kini bukan hanya dibutuhkan sebagai penyampai ajaran agama, namun juga sebagai pemecah masalah yang timbul dari proses penginterpretasian dan pelaksanaan ajaran agama. Seringkali, mad’u mengalami kendala ketika berusaha mempraktekkan apa yang telah ia dengar dan pelajari. Da’i harus siap menerima pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan penyelesaian masalah mad’u.
4.      Da’i sebagai Manajer
             Sebagai sumber daya utama dakwah, da’i harus mampu mengelola kegiatan dakwah agar berjalan sinergis, efektif dan efisien. Dengan kata lain, da’i masa kini harus memiliki kemampuan dan menjalani peran sebagai manajer kegiatan dakwah. Terdapat beberapa indikator kemampuan da’i sebagai seorang manajer: a. Mampu memimpin diri sendiri
             Konsep ibda’ bi nafsiy merupakan prinsip yang selalu relevan sepanjang sejarah dakwah. Da’i harus mampu membentuk dirinya menjadi profil yang penuh dengan nilai-nilai positif, sehingga mad’u bersedia mempercayai bahwa da’i tersebut akan mengantarkan mereka ke arah yang sama.
a.       Menjadi motivator umat
       Motivasi terbesar yang dapat dilakukan da’i terhadap umat adalah dengan mengembangkan kualitas diri sedemikian rupa, sehingga mad’u dapat melihat melalui profil da’i bahwa tidak ada hal yang mustahil dilakukan jika mereka bertekad kuat dan berusaha keras mencapainya.
b.      Mampu mengelola dan mengorganisasikan kegiatan dakwah.
       Da’i perlu mempelajari ilmu manajemen dan mengaplikasikannya dalam proses dakwah dengan merencanakan, mengorganisasikan serta mengevaluasi kegiatan dakwah. Kemampuan ini bisa dipelajari dengan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah berupa pelatihan atau workshop manajemen dakwah yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga swasta.
E.  Kesimpulan
       Kedudukan da’I tidak hanya dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu menguasai adat istiadat serta pengetahuan lainnya. Peran da’i (tokoh informal), dalam masyarakat sangat dibutuhkan karena tokoh informal masih mendapat penghormatan dalam kehidupan bermasyarakat apalagi tokoh Agama, ulama dan tgk, kedua tokoh ini menjadi ujung tombak dalam melakukan pembinaan didalam masyarakat.
       Transformasi peran da’i bukan hanya sebagai penyampai pesan wahyu akan tetapi harus mampu memiliki kemampuan da’i sebagai konselor, sebagai fasilitator/mediator, sebagai manajer, da’i sebagai problem solver. Akhirnya sebagai penutup, setiap da’i atau mubaligh harus “sholeh” secara pribadi dan “sholeh” secara sosial. Selanjutnya kedua kesholehan tersebut diintegrasi dan disinergikan untuk tampil sebagai “aktor” guna membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hasanuddin. Hukum Dakwah, Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.

Hasyim Umar. Mencari Ulama’ Pewaris Nabi. Surabaya: Bima Ilmu, 1983.

S. Willis Sofyan. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta, 2007.

Wahid Fathul. ­E­Dakwah: Dakwah Melalui Intenet.Yogyakarta: Gava Media, 2004.





                [1] Umar Hasyim, Mencari Ulama’ Pewaris Nabi, (Surabaya: Bima Ilmu, 1983), hlm. 135.
[2] Hasanuddin, Hukum Dakwah, Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm. 44.
                [3] Fathul Wahid, ­E­Dakwah: Dakwah Melalui Intenet, (Yogyakarta: Gava Media, 2004), hlm. 19.
                [4] Willis Sofyan S., Konseling Individual Teori dan Praktek, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 79.

<script data-ad-client="ca-pub-6732336960027693" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Comments

Arwana band konser di Kabupaten Sambas

Dusun Segerunding Desa Beringin Kecamatan Sajad, Relawan dan Sahabat Bang Guntur Memberikan Bantuan Kepada Masyarakat Yang Lanjut Usia dan Kurang Mampu.

MAIN GULI