METODE DAKWAH DI DUNIA MELAYU
Studi tentang Kitab Keagamaan
A.
Latar Belakang
Islam memiliki karakteristik global, yang mana
bisa diterima dalam setiap ruang dan waktu. Namun saat ia memasuki berbagai
kawasan wilayah, karakteristik globalnya seolah-olah hilang melebur ke dalam
berbagai kekkuatan lokal yang dimasukinya. Satu kecendrungan dimana biasa Islam
mengadaptasi terhadap kepentingan mereka. Khususnya dikawasan Nusantara, dimana
disana identik dengan budaya melayu, budaya Melayu yang ada di Nusantara
menjadikan Agama Islam disana berkarakter Islam melayu. Islam dan masyarakat
tradisional Melayu pada dasarnya adalah bentuk Islam pribumi, yang dianut
sebagai prinsip-prinsip akidah dengan ajaran-ajaran ritualnya yang bersifat
wajib. Islamisasi orang-orang Melayu, seperti itu juga yang dialami oleh
orang-orang ditempat lain, tidak pernah berlangsung secara sekaligus, akan
tetapi melalui proses yang berjalan secara bertahap-tahap.
Dunia kebudayaan Melayu membentang dari malaysia
dan Indonesia sampai ke Fhilipina Selatan (kepulauan Mindano). Ia merupakan
kawasan kebudayaan yang berdasarkan
etnolinguistik sangat luas dan beragama. Meskipun secara etnologis
penduduk di kawasan ini lebih homogen pada ras Melayu, namun dalam
kenyataanya realitas sosial dan budaya yang berkembang di dalamnya menunjukkan
keragaman, sangat homogen. Islam telah memiliki sejarah yang amat panjang di
kawasan melayu. Sekalipun demikian, proses Islamisasi masih terus berlanjut
terutama di daerah-daerah pedalaman, khususnya bagi suku-suku primitif tertutup
di Indonesia yang masih menganut animisme. Sampai sekarang kita masih bisa
menyaksikan pengenalan Islam terhadap suku Kubu di Jambi, Badui di Banten,
apalagi suku-suku di sekitar Lembah Balim, Irian barat.
B.
Sekilas Corak Islam Di Dunia Melayu
Islam datang dikawasan Melayu diperkirakan pada sekitar abad ke-7. Kemudian
mengalami perkembangan secara intensif dan mengislamisasi masyarakat secara
optimal yang diperkirakan terjadi pada abad ke-13 M. Awal kedatangannya diduga
akibat hubungan dagang antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah (seperti
Mesir, Yaman, atau Teluk Persia) atau dari daerah sekitar India (seperti
Gujarat, Malabar, dan Bangladesh), dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara,
semacam Sriwijaya di Sumatra atau dengan di Maja Pahit di Jawa. Perkembangan
mereka pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan banyaknya
pemukiman muslim baik di Sumatra seperti di Malaka, Aceh, maupun di Jawa
seperti di pesisir-pesisir pantai, Tuban, Gresik, Demak, dan sebagainya.
Pusat-pusat kekuatan ekonomi masyarakat Islam secara tidak langsung terlembagakan
dalam bentuk kota-kota dagang atau munculnya para saudagar muslim, baik di
Malaka, Aceh, maupun pesisir-pesisir pulau jawa. Saudagar-saudagar Arab,
kelompok-kelompok sufi, dan para mubaligh dari teluk persia, Oman maupun dari
Gujarat-Persia tersebut atau dari berbagai tempat lain dari Timur Tengah terus
berakumulasi dengan kekuatan lokal, hingga terbentuknya komunitas politik,
yakni kesultanan pada abad ke-16. Dari sana para saudagar mendapat
perlingdungan dan semangat lebih untuk meneruskan langkah-langkah ekonomi dan
dakwahnya untuk menembus wilayah-wilayah Timur lainnya, seperti daerah-daerah
Jawa, serta daerah Maluku, seperti Ambon, Ternate, Tidore, dan seterusnya,
termasuk Kalimantan, pulau-pulau Sulu dan Filipina.[1]
Pengaruh persia terhadap kebudayaan Melayu juga sangat terasa pada
pemikiran-pemikiran seni dan bahasa. Banyak pola-pola kata dan bahasa yang di
adopsi dari pola-pola Persia, simana huruf
akhiran “th” yang selalu dibaca tegas seperti pada kata
masyaraka(t), makluma(t), khiyana(t),
dan sebagainya. Sementara dalam pola bahasa Arab akhiran “t” selalu dibaca mati
dan diganti dengan akhiran “h”; khiyanah, ma’lumah, dan sebagainya.
Istilah-istilah lain seperti cilla (duduk bersila), bazar (pasar)
dan sebagainya, termasuk pada pola dan wujud seni sastra Melayu yang hampir
separuhnya terpengaruh Persia.[2]
Mengenai teori
kedatangan Islam di Melayu terdapat banyak pendapat dan masing-masing pendapat
diikuti dengan bukti-buktinya. Memang banyak hal yang dipermasalahkan apabila
membicarakan apabila membicarakan tentang kedatangan Islam. meskipun demikian
maka teori kedatangan Islam meliputi tiga hal pokok yakni dari mana asal
kedatangan Islam waktu kedatangan Islam dan siapa yang membawa Islam itu
sendiri. Namun terlepas dari teori
tersebut yang jelas Islam pada awalnya bertapak di kota-kota pelabuhan seperti
Samudra Pasai, Aceh, Malaka, Riau, dan kota-kota pelabuhan lainnya. Hal ini
disebabkan karena Kepulauan Melayu memang berada di persimpangan jalan laut
bagi para pedagang yang akan melakukan perjalanan perniagaan. Misalnya pedagang
Arab, Persia, India, dan China dengan dua arah bolak balik. Oleh sebab itu
secara umum dikatakan bahwa Islam disebarkan oleh para pedagang muslim yang
melakukan perdagangan ke berbagai wilayah.[3]
Sebelum islam datang ke tanah Melayu, orang-orang Melayu adalah penganut
annimisme, hinduisme, dan budhisme. Namun demikian, sejak kedatangannya Islam
secara berangsur-angsur mulai meyakini dan diterima sebagai agama baru oleh
masyarakat Melayu Nusantara. Proses islamisasi di Nusantara tidak dapat
dilepaskan dari peranan kerajaan Islam. Berawal ketika Raja setempat memeluk
Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan kemudian
rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peranan
penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik
Muslim, pembentukan dan pengembangan institusi-institusi Muslim lainnya,
seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan
syiar dan dakwah Islam.
C. Kitab Keagamaan Dan Dakwah di Dunia Melayu
1. Bukhari Jauhari Dalam Karya Kitab Keagamaan Taj Assalatin
Taj al-Salatin (baca
Tajussalatin), artinya Mahkota Para Sultan atau Raja-raja. Ia adalah kitab adab
dalam bahasa Melayu yang membahas masalah politik dan pemerintahan. Karya yang
selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam ini adalah karangan Bukhari
al-Jauhari, seorang cendekiawan Melayu yang nenek moyangnya berasal dari
Bukhara, Uzbekistan sekarang. Sejak lama kota kelahiran nenekmoyangnya itu
merupakan salah satu pusat utama kebudayaan dan peradaban Persia dan Islam.
Pada abad ke-12 Bukhara menjadi ibukota kerajaan Khwarizmi yang meliputi
Uzbekistan, Iran, Rurkmenistan dan Afghanistan sekarang. Setelah lebih satu
abad dikuasai bangsa Mongol, wilayah itu kemudian beralih ke tangan Timur Leng
dan keturunannya yang memeriantah sampai akhir abad ke-15 Mdengan menjadikan
Samarqand, kembaran kota Bukhara, sebagai ibukota pemerintahannya. Pada akhir
abad ke-15 dan awal abad ke-16 M, disebabkan krisis poltik di seantero Persia,
banyak ulama dan cendekiawan dari Bukhara dan Samarqand pindah ke India dan Nusantara.
Bukhari al-Jauhari
adalah nama takhallus dan gelar yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang dari
keturunan saudagar permata dari Bukhari. Kata al-Jauhari merujuk kepada
kepandaian leluhurnya sebagai pedagng dan sekaligus ahli batu permata. Ketika
dia menulis kitabnya kesultanan Aceh Darussalam sedang membubung naik menjadi
kerajaan Islam terkemuka di Timur. Aceh menjadi pusat kegiatan perdagangan
internasional dan sekaligus pusat penyebaran agama Islam serta kebudayaan
Melayu. Kala ia menulis Taj al-Salatin, tamuk pemerintahan berada di tangan
Sultan Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636
M). Sebagai karya sastra kitab Taj al-Salatin digolongkan ke dalam buku adab,
yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian
tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik,
diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya,
Di antara kitab-kitab
yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah(Kitab
Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah
(Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq
al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab
dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan
Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab
Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan
Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.
Persoalan yang
dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu. Walaupun
kesultanan Aceh sedang mengalami krisis internal, yang menyebabkan Sultan
Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya dan kemudian
dimasukkan ke dalam penjara; pada waktu itu Aceh sedang giat meluaskan wilayah
kekuasaannya. Beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti
Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan. Dalam bukunya Bukhari al-Jauhari
berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam
memerintah sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras
dan multi-budaya.
Gagasan dan kisah-kisah
yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik
dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan
pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang
relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku
sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf
Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan
lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada
ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.
Kadang-kadang cerita
berperan sebagai pangkal penafsiran teks suci dan memberi pengertian/ makna
terhadap pokok yang dibicarakan. Kadang-kadang pada akhir pembicaraan
diselipkan puisi, yang merupakan ungkapan ringkas atau kesimpulan mengenai
pokok yang dibicarakan. Misalnya sebagaimana terlihat pada akhir pembahasan
mengenai budi atau akal pikiran:
Dengar olehmu hai budiman
Budi itulah sesungguhnya pohon ihsan
Karena ihsan itu peri budinyalah
Jika lain, maka lain jadilah.
Orang yang berbudi itu kayalah
Yang tidak berbudi itu papalah
Jika kaudapat arti alam ini
Dan budi kurang padamu di sini,
Sia-sialah jua adamu
Dan sekali pula sia-sia namamu
Jika kamu hendak menjadi kaya
Mintalah budi padamu cahaya
Hai Tuanku, Bukhari faqir yang hina
Pada budi minta selamat senantiasa
Ada
dua asas pokok mendasari kitab ini: (1) Asas usul atau asal-usul pembahasan dan
furu’, yaitu cabang-cabang pembahasan; (2) Asas estetik, yaitu penggunaan
sarana estetik seperti kisah-kisah dan sajak yang digunakan dalam menjelaskan
pokok pembicaraan. Asas estetik ini dibangun dari sebuah titik sentral
pembahasan, yaitu masalah keadilan. Dan keadilan dipandang sebagai pintu menuju
kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan dalam
berpikir atau menggunakan akal.
Titik
Tolak Pembahasan
Buku ini dibagi ke dalam
24 bab.Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara
keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai
Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal
oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan
hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem
kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar.
Menurut Bukhari,
walaupun dunia ini merupakan tempat sementara bagi manusia, tetapi dunia
memiliki nilai dan makna tersendiri yang tidak boleh diabaikan. Dunia merupakan
tempat ujian di mana amal perbuatan manusia sangat menentukan bagi kehidupannya
di akhirat. Hukuman terberat akan diterima oleh raja-raja yang dhalim dan tidak
adil, karena mereka memiliki kekuasaan yang lebih dibanding orang lain,
sehingga leluasa mengatur dan memerintah manusia lain. Raja yang baik dan adil
merupakan bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum
Allah, bersifat al-rahman dan al-rahim sebagaimana Khaliqnya.
Dalam membicarakan
keadilan, Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral, melainkan juga
memberinya makna ontologis atau metafisis. Di sini raja yang baik, sebagai Ulil
albab. Secara etis seorang ulil albab diartikan sebagai orang
yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan
dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Akal, dalam bahasa Arab,
dikiaskan sebagai gua yang terletak di atas bukit yang tinggi dan sukar dicapai.
Kemuliaan akal dinyatakan dalam Hadis, `Awwal ma khalaqa`lLahu’l- `aql.
Adapun tanda orang yang menggunakan akal dan pikiran yang baik ialah:
1. Bersikap baik terhadap
orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah
meminta maaf dan bertobat.
2. Bersikap rendah hati
terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang
martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi.
3. Mengerjakan dengan
sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baikdan perbuatan yang terpuji.
4. Membenci pekerjaan yang
keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu
kebenarannya.
5. Menyebut nama Allah
senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan
siksa kubur.
6. Mengatakan hanya apa
yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu
arif menyampaikan sesuatu.
7. Dalam kesukaran selalu
bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang
sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan
sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.
Dalam bab ini Bukhari
al-Jauhari mengutip kisah raja Nusyirwan dari Bani Sassan, yang ketika ditanya
seorang hakim tentang kedudukan akal, mengatakan bahwa akal budi merupakan
perhiasan kerajaan dan tanda kesempurnaan raja-raja Persia. Orang berakal budi
dan adil diumpamakan sebagai pohon yang elok dan lebat buahnya. Buah-buahnya
bukan saja enak dan berguna, tetapi menimbulkan keinginan orang untuk
mencintainya. Raja yang dhalim dan tidak berakal budi adalah sebaliknya,
bagaikan pohon yang buruk dan tidak ada buah, karena itu dijauhi dan tidak
disukai orang.
Penulis Taj
al-Salatin juga mengutip Imam al-Ghazali, yang menyatakan bahwa
akal dalam tubuh manusia itu seperti raja dalam sebuah negeri. Sebuah negeri
akan baik jika raja yang memegang tampuk pemerintahan menjalankan tugasnya
sebagai pemimpin yang adil dan arif, yaitu menggunakan akal budi dengan
sebaik-baiknya. Seorang pemimpin harus memenuhi syarat: (1) Hifz,
yaitu memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang
benar terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas
wawasannya; (4) Iradat, menghendaki
kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5) Nur,
menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.
Kemudian juga dikutip
pandangan seorang ulama dalam buku Sifat al-`Aql wa `l-`aql.
Negeri adalah seperti manusia: raja adalah akal pikiran sebuah negeri,
menteri-menteri ialah keseluruhan pertimbangan yang dibuat berdasarkan pikiran
dan hati nurani (musyawarah) ; pesuruhnya ialah lidah; suratnya ialah
kata-katanya yang tidak sembarangan dan tidak menimbulkan fitnah. Seorang raja
yang baik dikehendaki sehat baik rohani maupun jasmaninya.
Sedangkan dalam fasal
ke-5 Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada
beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja
agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar:
1. Seorang raja harus
dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi
dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan.
2. Seorang raja hendaknya
memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika,
pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang
berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara
yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu
pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat.
3. Menteri-menteri yang
diangkat juga dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya.
4. Mempunyai wajah yang
baik dan menarik, sehingga orang mencintainya. Tidak cacat mental dan fisik.
5. Dermawan dan pemurah,
tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik
dan murtad.
6. Raja yang baik harus
senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar
dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan.
7. Raja yang baik mesti
tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan
menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang
mengancam kedaulatan negara.
8. Tidak suka makan dan
tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua
itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara.
9. Tidak senang bermain
perempuan.
10. Sebaiknya seorang raja
dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kalau
tidak karena keadaan genting, seorang perempuan sebaiknya tidak dipilih menjadi
raja, sebab seorang perempuan sering dikuasai oleh emosi dan perasaan dibanding
akal pikiran.
Marilah kini kita
perhatikan fasal ke-6 yang membicarakan khusus masalah keadilan. Fasal ini
dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl
wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan.
Sikap adil ada dalam perrbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan
mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan
pekerjaan.
Pengarang juga mengutip
Hadis yang menyatakan bahwa adil itu tanda kemuliaan agama, sumber kekuatan
seorang raja dan pangkal kebajikan insan. Menurut Kitab al-Khairat al-Mulk: Raja yang
adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman,
sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan
kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah:
Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan
mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.
Merujuk pada buku Adab
al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat
sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan
rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat
satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak
dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita
bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik.
Negara Hukum
Konsep pemerintahan atau
negara yang dikemukakan oleh Bukhari al-Jauhari ialah nomokrasi, negara
berdasarkan hukum. Menurut Bukhari al-Jauhari, keadilan tidak ada artinya
apa-apa dan akan bersifat sementara apabila tidak didasarkan pada hukum yang
dijunjung tinggi oleh segenap lapisan rakyat. Hukum dan aturan yang jelas
tentang adab atau tatakrama bernegara, bermasyarakat dan berbangsa sangat
penting mengingat:
Pertama, kebanyakan
manusia itu cenderung pada kejahatan dibanding pada kebaikan. Orang yang baik
dan cenderung pada kebaikan itu tidak banyak, apalagi dalam sebuah negeri yang
baru tumbuh dan masyarakatnya majemuk. Orang yang baik tidak ada gunanya dan malah
mudah terbawa pada kejahatan apabila tidak ada jaminan hukum yang pasti. Tanpa
supremasi hukum kejahatan akan semakin bertambah-tambah dan negara akan mudah
mengalami disintegrasi.
Kedua, seorang raja atau
pemimpin negara serta menteri-menteri dan para pegawainya tidak dapat
menjalankan tugas dan pekerjaan dengan baik tanpa landasan hukum yang jelas.
Apabila raja berbuat tanpa dasar hukum yang jelas, maka rakyat akan cenderung
melihat perbuatan itu berdasarkan pertimbangan pribadinya semata-mata, dan
dengan demikian mudah untuk tidak mematuhinya.
Ketiga, hukum diperlukan
sebagai tolok ukur untuk menilai adil tidaknya seorang raja dan pemimpin, serta
dapat menghindari kecenderungan perbuatan yang sewenang-wenang. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan akan cenderung
berbuat sesuka hati untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Bukhari kurang lebih
mengatakan, segala orang jahat itu tidak akan berbuat sekehendak hati apabila
hukum benar-benar ditegakkan. Dan tidaklah berguna pula segala orang yang baik
di negeri itu apabila di sekelilingnya kejahatan merajalela. Pelaksanaan hukum
secara ketat dan keras memungkinkan orang jahat mengendalikan niatnya untuk
berbuat jahat. Dengan demikian orang-orang baik dan rakyat akan dapat melakukan
tugas, pekerjaan dan pengabdian dengan baik dan ikhlas.
Kebinasaan sebuah negeri
yang berpenduduknya beragama Islam juga dibicarakan. Di antara penyebabnya
ialah: Banyaknya menteri berbuat jahat kepada kaum Muslimin dan adanya niat
jahat negara lain dan pemimpin yang diperalat oleh negara lain untuk merusak agama
Islam, merampas harta orang Islam (menjadikan mereka miskin atau paria di
negerinya sendiri) dan melihat anak-anak dan kaum wanita Muslim dengan penuh
khianat.
Dalam memahami dan
mengenal manusia ada empat perkara yang harus diperhatikan: (1) Mengenal
manusia dengan ilmu nubuwah, yaitu berdasarkan petunjuk al-Qur`an dan Hadis;
(2) Mengenal manusia dengan ilmu wilayah, yaitu berdasarkan hikmah yang disusun
oleh para hukama, ulama, wali, cerdik cendekia dan orang arif pada umumnya; (3)
Mengenal manusia dengan berdasarkan hikmah, yaitu berdasarkan syariah, fiqih,
falsafah dan ilmu pengetahuan yang benar; (4) Mengenal manusia berdasar ilmu
qiafah dan firasat, yaitu berdasarkan perangai, tabiat dan sifat-sifat yang ada
manusia dan tanda-tanda zahirnya.
Kewajiban dan Hak Raja
Dalam fasal ke-20
dikemukakan kewajiban dan hak seorang raja di antaranya ialah:
1.
Tidak menyombongkan diri dan memudah-mudahkan persoalan atau kesukaran
yang dihadapi rakyat.
2.
Tidak sepatutnya mendengar hanya dari satu dua golongan, sedangkan dalam
masyarakat Muslim terdapat banyak golongan dan mazhab.
3.
Tidak mudah memurkai orang Islam hanya berdasarkan berita yang tidak
benar atau kecurigaa
4.
Seorang raja berkewajiban melindungi orang Islam dari bahaya/ancaman
pengkafiran atau penyesatan.
5.
idak boleh menginginkan istri bawahan dan rakyat.
6.
Banyak berdialog dengan ulama, cendekiawan, orang arif dan pemimpin
non-formal; mengurangi bertemu dengan orang bebal, tamak dan jahat.
7.
Menghormati orang tua dan menyayangi fakir miskin.
8.
Memenuhi janji kepada kaum Muslimin apabila memang pernah berjanji.
9.
Tidak merendahkan hukum Islam, bahkan harus berusaha menegakkann hukum
yang relevan.
10. Tidak menyebarluaskan
berita atau pendapat yang menimbulkan fitnah dan kejahatan.
11. Memberi perhatian kepada
fakir miskin.
12. Ingat akan mati,
13. Membuat banyak jalan raya dan sarana publik.
14. Meningkatkan transportasi, perdagangan dan kegiatan ekonomi rakyat.
15. Menyalurkan dana dari pungutan pajak dan beacukai untuk keperluan
yang tepat.
16. Tidak boleh menyelewengkan wakaf.
17. Membanyak rumah sakit, sarana pengajaran dan pendidikan, serta rumah
ibadah.
Inilah ringkasan kitab Taj
al-Salatin. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda,
Perancis dan Jawa sejak abad ke-19 M. Uraiannya berpengaruh besar terhadap
tradisi kepemimpinan Melayu.
D. Kesimpulan
Islam datang dikawasan Melayu diperkirakan pada sekitar abad ke-7. Kemudian
mengalami perkembangan secara intensif dan mengislamisasi masyarakat secara
optimal yang diperkirakan terjadi pada abad ke-13 M. Awal kedatangannya diduga
akibat hubungan dagang antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah dari
daerah sekitar India dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sebelum islam datang ke tanah Melayu, orang-orang Melayu adalah penganut
annimisme, hinduisme, dan budhisme. Namun demikian, sejak kedatangannya Islam
secara berangsur-angsur mulai meyakini dan diterima sebagai agama baru oleh
masyarakat Melayu Nusantara. Proses islamisasi di Nusantara tidak dapat
dilepaskan dari peranan kerajaan Islam. Berawal ketika Raja setempat memeluk
Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan kemudian
rakyat jelata.
Perubahan besar
yang terjadi sebagai dampak dari pesatnya perkembangan Islam bagi masyarakat
Melayu ini telah lama diketahui sarjana Eropa dan Asia, khususnya telah
melakukan penelitian mendalam mengenai kaitan erat perkembangan Islam dengan
sastra Melayu.
DAFTAR PUSTAKA
Roza Ellya, Islam dan Tamadun Melayu, Pekanbaru-Riau: Daulat Riau,
2013.
Thohir Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan
Geo-Politik, Jakarta: Raja Pers, 2011
http://apran-44.blogspot.co.id/2010/10/sastra-melayu-dan-latar-belakang.html
http://jtopan.blogspot.co.id/2011/10/taj-al-salatin-adab-pemerintahan-melayu.html
Comments
Post a Comment