A.
LATAR BELAKANG
BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara,
suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di Barat laut
Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat
religius. Kereligiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang
mengatakan bahwa ia melaksanakan ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, dan
lainnya, tanpa pernah meninggalkannya sekalipun.[1]
Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar
ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Al-Qur’an.
Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga yang menganut mazhab Sunni, Fazlur
Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan
intelektual dan keyakinan-keyakinannya.[2]
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan
keyakinan awal keagamaannya. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab
Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan
modern. Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah
sekolah modern di Lahore. Selain menempuh pendidikan formal, Fazlur Rahman juga
mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisional dalam kajian-kajian
keislaman dari ayahnya sendiri, Maulana Syahab al-Din. Materi pengajaran yang
diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan
di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas
tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, Teologi
atau Kalam, Hadis dan Tafsir. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya,
Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil kosentrasi
studi bahasa Arab dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of
Art. Dua tahun kemudian, dia berhasil menyelesaikan studi S2 nya dan
mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Pada tahun 1946, Fazlur Rahman
berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi di Oxford University. Di bawah
bimbingan Profesor Simon Van den Berg dan H.A.R Gibb, Fazlur Rahman berhasil menyelesaikan
studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1949 dengan disertasi
tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford
University Press dengan judul Avicenna’s Psychology.
B.
KARIR DAN KARYA
Secara singkat, perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dapat
dipetakan ke dalam tiga periode: (I) periode awal (dekade 50-an); periode
Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).
Setidaknya ada tiga karya besar yang disusun Fazlur Rahman pada
periode awal: Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959);
dan Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang
pertama, Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959),
merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang
terakhir, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958), mengupas
perbedaan doktrin ke-Nabi-an antara yang dianut oleh para filsuf dengan yang
dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak akar pemikiran filsafat Islam, Fazlur
Rahman mengambil sampel dua filsuf ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina
(980-1037). Dia mengulas pandangan kedua filsuf tersebut tentang wahyu
ke-Nabi-an pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau
imajinatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syari’ah. Untuk mewakili
pandangan ortodoksi, Fazlur Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali,
Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Dari pelacakannya ini, Fazlur
Rahman menyimpulkan bahwa ada kesepakatan aliran ortodoks dalam menolak
pendekatan intelektualis-murni para filsuf terhadap fenomena ke-Nabi-an. Hasil
dari penelusurannya ini mengantarkan Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan bahwa
tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filsuf Muslim dan ortodoksi.
Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: Islamic
Methodology in History (1965). Dalam buku ini Fazlur Rahman memperlihatkan:
(I) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran
Islam: Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan (ii) peran aktual
prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua
yang ditulis Fazlur Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang
menyuguhkan rekonstruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat
belas abad.
Pada periode Chicago, Fazlur Rahman menyusun: The Philosophy of
Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam
and Modernity: Transformation of an intellectual tradition (1982). Kalau
karya-karya Fazlur Rahman pada periode pertama bersifat kajian historis, dan
pada periode kedua bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka
karya-karya pada periode ketiga lebih bersifat normatif murni. Pada periode
awal dan kedua, Fazlur Rahman belum secara terang-terangan menyatakan diri
terlibat langsung dalam arus pembaharuan pemikiran Islam, maka pada periode
ketiga ini dia mendeklarasikan dirinya sebagai juru bicara neo-modernis.[3]
C.
PEMIKIRAN
1.
Tuhan, Manusia,
dan Alam
Fazlur Rahman melihat pentingnya
rumusan pandangan dunia (worldview) yang menyeluruh dan utuh sebagai landasan
filosofis bagi metodologinya. Konsep andangan dunia Fazlur Rahman, khususnya
berkaitan pada tiga persoalan: Tuhan, manusia, dan alam, bertitik tolak dari
al-Qur`an. Konsep Tuhan seperti dinyatakan di dalam al-Qur`an bagi Fazlur
Rahman pada dasarnya semata-mata adalah fungsional. Yakni Tuhan dibutuhkan
bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan.
Berangkat dari landasan di atas,
kita dapat mengambil gagasan Fazlur Rahman tentang Tuhan yang kemudian mewarnai
berbagai pandangannya yang lain. Dengan kata lain, pandangan Fazlur Rahman
tentang Tuhan selanjutnya dapat berimplikasi pada bagaimana Fazlur Rahman
melihat segala fenomena di alam ini. Dalam pandangannya, Tuhanlah yang telah
menciptakan manusia dan alam raya ini. Tuhan telah menjadikan alam dengan
seperangkat aturannya yang dia sebut dengan istilah qadar. Qadar baginya
bukanlah seperti apa yang dipahami oleh mayoritas para teolog (mutakallimum)
sebagai ketentuan yang deterministik, mengikat serta membatasi kebebasan
manusia, melainkan segala ketentuan yang ada pada alam ini, terutama
benda-benda fisik. Qadar itulah yang memberikan karakteristik dan sifat khusus
padanya.
Karakteristik dan sifat itulah
yang merupakan amar Tuhan terhadap alam. Karenanya segala yang ada di alam
adalah Islam, karena ia tunduk dan patuh terhadap amar Tuhan. Amar Tuhan itulah
yang kemudian menjadi amanah bagi alam ini. Karenanya, pula, al-Qur`an
mengatakan bahwa alam bertasbih kepada Tuhan. Tuhan menciptakan alam semesta
ini bukanlah tanpa tujuan. Ia hendak merealisasikan
tujuan-Nya itu lewat ciptaan-Nya
dan misi-Nya. Tujaunnya adalah kebaikan. Pada titik ini, hemat penulis, Fazlur
Rahman percaya, setidaknya menerima, yang disebut dalam terminologi filsafat
agama sebagai argumen teleologis. Argumen ini menyatakan bahwa alam memiliki
tujuan. Alam mengarah kepada suatu tujuan yang lebih tinggi yakni kebaikan.
Sudah merupakan anggapan umum bahwa Tuhan dalam Islam adalah transenden secara
mutlak, hal ini terbukti dengan adanya penekanan tegas yang diberikan Islam
terhadap pengesaan Tuhan, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan lain-lain. Akan
tetapi, lanjut Fazlur Rahman, gambaran semacam ini tidak muncul dari al-Qur`an,
melainkan dari perkembangan teologi Islam belakangan. Tentu saja imanensi Tuhan
ini sedikit pun tidak berarti perbuatan-perbuatn yang dilakukan oleh alam atau
manusia secara nyata dilakukan oleh Tuhan: Tuhan bukanlah saingan atau
pengganti bagi manusia atau agen-agen alam dalam menghasilkan efek-efek, dan
Dia tidak pula campur tangan dalam proses kerja mereka.
Hukum alam adalah bagian dari
perilaku-Nya (sunnah). Manusia diciptakan Tuhan dengan maksud turut merealisir
tujuan-Nya yang mulia, tujuan kebaikan. Di samping manusia diberi tugas dalam
rangka keseluruhan dari penciptaan-Nya, ia juga dituntut agar selalu patuh
kepada Tuhan. Di sini Tuhan memberikan daya intelegensi yang tinggi kepada
manusia. Dengan akal manusia membedakan yang baik dan yang buruk. Karena itu
Tuhan memberikan derajat yang paling tinggi kepada manusia dibandingkan dengan
makhluk lain. Di antara makhluk, manusialah yang dilengkapi dengan moral.
Karena itu manusia, dalam hidupnya, penuh dengan perjuangan, baik perjuangan
untuk merealisasikan tujuan penciptaan Tuhan, hubungannya dengan alam, maupun
pada level pribadi. Jadi hubungan Tuhan, manusia, dan alam dalam pandangan
Fazlur Rahman tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Hubungan yang jelas adalah bahwa
manusia diberi tugas oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta ini dengan tujuan
kebaikan dan kesempurnaan dari seluruh rencana Tuhan dan keseluruhan
penciptaannya. Hubungan dengan Tuhan bahwa manusia merupakan bagian dari-Nya,
dalam arti bahwa Tuhan telah meniupkan ruh-Nya kedalam diri manusia.[4]
Namun, Tuhan tetap sebagai makrokosmos (alam besar) dan manusia adalah
mikrokosmos (alam kecil). Alam kecil ini senantiasa berhubungan secara
spiritual dengan alam besar, setidaknya pada level filosofis. Karena itu,
manusia harus meniru Tuhan di dalam segala sikapnya, mewujudkan
kebaikan-kebaikan. Tugas ini, suka atau pun tidak suka, harus dipikulnyaa.
Manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini (khalifah fi
al-ardh). Hubungan manusia dengan alam adalah bahwa manusia memanfaatkan
alam demi terciptanya kebaikan-kebaikan itu dan dalam rangka beribadah
kepada-Nya. Fazlur Rahman menyebut hal demikian sebagai ‘amr’ atau perintah
Tuhan yang harus dilaksanakan oleh manusia. Jadi alam berfungsi sebagai
fasilitas dalam rangka tujuan tadi. Dengan demikian dalam Islam manusia menjadi
“pengelola”, bukan “eksploitator”. Berangkat dari konsepsi ini, pandangannya
mengenai tauhid jelas tidak dapat dinafikan begitu saja. Bagi Fazlur Rahman
Tauhid tidak hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, tapi juga berbicara tentang
bagaimana manusia berperilaku dan bertindak.
Manusia merupakan cermin dari
Tuhan atau khalifah Tuhan di bumi, karena itu ia harus mewujudkan misi-Nya di
bumi. Ketika ia melakukan interaksi dengan orang lain, maka unsur Tuhan serta
nilai-nilai teologis harus dijabarkan. Pandangan ini amat berpengaruh pada
pemahamannya tentang etika sosial.
Di sini Fazlur Rahman
mengidealkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat keadilan,
kesejahteraan, kedamaian, serta perilaku masyarakat yang dilandasi nilai-nilai
moral yang tinggi, dalam hal ini nilai-nilai tauhid sebagaimana ditunjukkan
al-Qur`an. Baginya, nilai-nilai universal yang menjadi pesan al-Qur`an itu
hendaknya menjadi acuan dan basis etis sebuah masyarakat. Karena itu, seluruh
manusia tanpa dibatasi oleh atribut tertentu: golongan, suku bangsa, ras,
bahasa dan lain-lain, harus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan universal
itu: “keadilan”, “kebaikan”, “persamaan”, (merasa sama satu sama lain, tidak
merasa lebih tinggi, lebih super dan lain sebagainya), kejujuran dan lain-lain.
Makna universal di sini bagi Fazlur Rahman tidaklah demikian adanya. Baginya,
makna universal dalam Islam harus disesuaikan dengan kondisi di mana konsep dan
gagasan itu hendak diterapkan. Dalam hal ini tidaklah lalu berarti pengikisan
nilai-nilai transenden yang terdapat di dalam sebuah kitab suci.
Fazlur Rahman tampak yakin betul
bahwa makna al-Qur`an tidaklah dapat diambil atau diwujudkan dengan cara yang
pertama tadi. Jadi bagi Fazlur Rahman -karena pengaruh dari metodologi
historisnya- semangat al-Qur`an itulah yang terpenting. Dengan sikap tauhid
yang dinamis ini, maka jelas manusia akan hidup optimis, tanpa berlebihan.
Sikap optimis demukian dapat melahirkan sikap rendah hati dan tidak mudah
berputus asa. Karena itu, seseorang akan berada pada jalan tengah dan terhindar
dari dua kutub ekstrim. Karena dua kutub ekstrim itulah yang menyebabkan
manusia jatuh pada “kekufuran”.
Di dalam konsep tauhid ini,
Fazlur Rahman mengidealkan terciptanya hubungan antara manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia yang lain, dan hubungan manusia dengan alam
sekitarnya secara harmonis demi mewujudkan dan merealisasikan tujuan dari
penciptaan ini (al-hikmah). Landasan tauhid ini menjadi dasar dan prinsip
universalitas Islam yang kemudian sangat berpengaruh pada prinsip pemikiran
Fazlur Rahman.
D.
METODOLOGI
TAFSIR FAZLUR RAHMAN (DOUBLE MOVEMENT THEORY)
Fazlur Rahman
sebenarnya telah merintis rumusannya tentang metodologi sejak dia tinggal di
Pakistan (dekade 60-an). Namun rumusan metodologinya ini secara sistematis dan
komprehensif baru diselesaikannya ketika dia telah menetap di Chicago.
Metodologi yang ditawarkannya ini, yang dia sebut sebagai “double movement”,
merupakan kombinasi pola penalaran induksi dan deduksi; pertama, dari yang
khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum
kepada yang khusus. Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah.
Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji
situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul.
Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, menurut
Fazlur Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro
dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga,
serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam dating.
Langkah kedua
dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban
spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum,
yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang
historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Hal
yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai
keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan
dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan
klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya koheren dan tidak mengandung internal-contradiction
secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh
pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum Muslim awal. Menurut Fazlur Rahman,
sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an
secara keseluruhan. Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik
lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang,
maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus
dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini
mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi
sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral
tersebut.
Apabila kedua
momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi
hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah,
maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial mutlak diperlukan,
meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja ahli etika. Momen
gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama,
yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal
diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam
memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin
bahwa sesuat yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke
dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan ganda
ini, dapat difahami dengan tiga langkah metodologis utama:
a.
Pendekatan
historis untuk menemukan makna teks al-Quran masa Nabi; berkaitan dengan hal
ini Fazlur Rahman mengungkapkan:
“Suatu pendekatan historis yang serius
dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks Al-Qur’an…Pertama-tama,
Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali dengan
pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan suatu
persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam, sebagaimana
dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah,
seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan
Nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan Al-Quran dalam
suatu cara yang sistematis dan koheren.”[5]
b.
Pembedaan
antara ketetapan legal dan tujuan Al-Quran;
Mengenai pembedaan antara ketetapan
legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Fazlur Rahman menulis:
“Kemudian seseorang telah siap untuk
membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, di mana hukum
diharapkan mengabdi kepadanya. Di sini sekali lagi seseorang berhadapan dengan
bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan
menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh
kalangan non-Muslim maupun Muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan
alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.”
c.
Pemahaman dan
penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis.
Mengenai butir ketiga ini, Fazlur Rahman menulis:
“Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan
ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar
sosiologis, yakni lingkungan di mana Nabi hidup dan beraktifitas.”
E.
SIMPULAN
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara,
suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di Barat laut
Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat
religius. Kereligiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang
mengatakan bahwa ia melaksanakan ibadah-ibadah seperti shalat, puasa, dan
lainnya, tanpa pernah meninggalkannya sekalipun. Dengan latar belakang
kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun
ia sudah dapat menghafal Al-Qur’an.
Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga yang menganut mazhab Sunni, Fazlur
Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan
intelektual dan keyakinan-keyakinannya
DAFTAR PUSTAKA
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History ,Delhi: Adam Publisher
and Distributors, 1994.
Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur`an, terj. Anas Mahyuddin
.Bandung: Pustaka, 1993.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition .Chicago: The University of Chicago Press, 1982,
Fazlur Rahman, Islam .Chicago: The University of Chicago
Press, 1979.
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas .Bandung:
Mizan, 1994.
[1] Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung:
Mizan, 1994), hlm. 79.
[2] Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago
Press, 1979), hlm. 41.
[3] Fazlur Rahman, Islam and
Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The
University of Chicago Press, 1982), hlm. 135-145.
[4] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur`an, terj. Anas
Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1993), hlm. 26.
[5] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam
Publisher and Distributors, 1994). hlm. 6.
Comments
Post a Comment